Social Icons

Featured Posts

Sejarah Hari Santri Nasional (22 Oktober) di Indonesia

Hari Santri Nasional menjadi hari yang membanggakan bagi para santri di Indonesia. Sejarah Hari Santri ini tidak terlepas karena adanya peran Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy’ari. Oleh karena itu, pada artikel ini akan dibahas mengenai sejarah Hari Santri Nasional secara lengkap.

Latar Belakang Penetapan Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional (HSN) diperingati setiap tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan Hari Santri Nasional ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan ini dimaksudkan untuk meneladankan semangat jihad kepada para santri tentang keIndonesiaan yang digelorakan para ulama.

Dua puluh dua Oktober dipilih karena bertepatan dengan satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Pada tanggal tersebut, KH Hasjim Asy’ari menyerukan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan.

Sekutu yang dimaksudkan adalah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Sementara itu, di belakang tentara Inggris terdapat pasukan Belanda yang ikut membonceng. Selain itu, aspek lain yang melatarbelakangi penetapan Hari Santri Nasional adalah adanya pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi Santri dan Pesantren

Santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; dan orang yang saleh. Sementara itu, pengertian santri menurut para ahli adalah:

  • Menurut Johns, santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji
  • Menurut CC. Berg, santri berasal dari bahasa India yakni shastri. Shastri berarti seorang ali kitab agama Hindu. Hal ini didukung oleh A. Steenbrink, ia beranggapan bahwa pendidikan di pesantren mirip dengan pendidikan Hindu di India.
  • Santri bagi sebagian orang di Indonesia berasal dari Bahasa Sansekerta, yakni Sastri yang berarti melek huruf.
  • Ada juga yang menyatakan bahwa santri berasal dari Bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna seseorang yang selalu setia mengikuti gurunya dan ikut serta kemanapun gurunya pergi.

Makna santri sendiri identik dengan istilah pondok pesantren. Para santri di dalam pondok pesantren akan mengikuti jadwal belajar dan ibadah yang telah disusun sedemikian rupa. Hal ini menjadi kegiatan wajib untuk dilaksanakan para santri. Santri biasanya mengikuti pendidikan agama Islam pada sebuah pondok pesantren selama kurun waktu tertentu. Ilmu yang diajarkan tidak hanya berkaitan dengan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu umum lainnya. Para Santri pun dituntut untuk dapat berkomunikasi dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris.

Tujuan Peringatan Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional bertujuan untuk memperingati peran besar kaum kiyai dan kaum santri dalam perjuangannya melawan penjajah yang bertepatan dengan seruan KH Hasjim Asy’ari tersebut. Peran ulama-ulama lainnya seperti KH  Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad, dan Abdul Rahman dari Matlaul Anwar. 

Sejarah Hari Santri Nasional

Sejarah Hari Santri Nasional sangat berkaitan erat dengan perisitiwa bersejarah bangsa Indonesia. Peristiwa bersejarah tersebut membawa bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah berkat perjuangan para santri dan campur tangan Tuhan Yang Maha Esa. Tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945, KH Hasjim Asy’ari menyerukan resolusi jihad yang dicetuskan oleh pendiri Nahdlatul Ulama. Seruan tersebut dilakukan untuk mencegah dan menghalangi kembalinya tentara Kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA.

Saat itu, KH Hasjim Asy’ari menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang.” Seruan ini membakar semangat para santri Surabaya untuk menyerang Markas Bridge 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Pada pertempuran tersebut, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Jenderal tersebut tewas bersama pasukannya sebanyak +/- 2.000 pasukan. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang akhirnya berujung pada Peristiwa 10 November 1945. 

Sosok KH Hasjim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 14 Februari 1871.  Beliau meninggal di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun tepatnya tanggal 21 Juli 1947. KH Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang mendirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama bermakna kebangkitan ulama dan didirikan pada tahun 1926. Organisasi tersebut kemudian menjadi organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Sosok KH Hasyim Asy’ari mendapatkan julukan Hadratus Syeikh di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren, yang berarti maha guru.

Sosok KH Hasjim Asy’ari terlahir di lingkungan pesantren. Beliau pun mempelajari dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang merupakan pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren sejak usia 15 tahun. Pesantren tempat KH Hasjim Asy’ari menimba ilmu diantarnaya adalah Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantrem Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Kademangan di Bangkalan, dan Pesantrem Siwalan di Sidoarjo.

Sedangkah di Mekah, awalnya beliau belajar di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Termas (Pacitan). Syaik Mahfudz adalah ahli hadas, sehingga saat kembali ke Indonesia maka KH Hasjim Asy’ati sangat terkenal dengan pengajaran ilmu hadits. Selain itu, belau juga mempelajari tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1899, KH Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng. Pesantren ini pun kemudian menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.

Pandangan KH Hasjim Asy’ari mengenai Ahl al-sunna wa al-jama’ah yakni tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Setidaknya terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahl al-sunna wa al-jama’ah, yakni teologi dan fiqh. Melalui karya-karyanya dapat disimpulkan bahwa Ahl al-sunnah wa al-jama’ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola kebragaman bermadzhab kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.

Resolusi Jihad

Para ulama selalu mengawal kemerdekaan Indonesia. Bahkan setelah kemerdekaan, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September 1945.

Resolusi Jihad diputuskan dalam rapat para konsul NU Se-Jawa Madura. Isi dari Resolusi Jihad tersebut diantaranya: (1) kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan, (2) umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (3) kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi setiap orang Islam dalam jarak radius 94 Km (jarak dimana umat Islam dapat melakukan shalat jama’ & qasar). Sementara itu, bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 Km tersebut. Terdapat tambahan dalam teks lainnya, yakni “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi) riwayat Muslim.”

Dampak Resolusi Jihad

Resolusi Jihad ini berdampak sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri berperang melawan Tentara Sekutu. Sebanyak lima belas ribu Tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Brigadier Jenderal A.W.S. Mallaby pun tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut, yakni pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Hal ini membuat marah angkatan perang Inggris, sehingga ujungnya terjadi Peristiwa Pertempuran 10 November 1945. Peristiwa tersebut kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.

Meskipun penetapan Hari Santri Nasional dilatarbelakangi oleh resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, tetapi peringatan ini tidak dimaksudkan untuk kelompok atau golongan tertentu. Peringatan Hari Santri Nasional di Indonesia harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan nasionalisme di kalangan umat Islam yang sudah ada sejak zaman penjajahan dulu.

Peran umat Islam sendiri pada masa penjajahan dapat terlihat dari banyaknya pahlawan yang melandaskan perjuangannya atas dasar agama Islam. Banyak para kiyai atau para pemuka agama Islam dan raja-raja Islam yang turun dan memimpin peperangan melawan para penjajah. 

Inilah penjelasan mengenai Sejarah Hari Santri Nasional  di Indonesia. Semoga peringatan hari santri dapat dimaknai dengan baik oleh umat Islam maupun umat non Islam di Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat.

Biografi K.H. Muzajjad



Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan ilmu-ilmu salafi, tidak bisa dilepaskan oleh peran Ulama’ sebagai penjaga sekaligus perantara keilmuan Rasulullah SAW.  Tidak jarang mereka memiliki peran ganda, tidak hanya sebagai ulama’ yang menjadi pelayan bagi keberlanjutan ajaran Islam, tetapi juga pelayan masyarakat yang sangat multi dimensional dan multi kultura.

Inilah istimewanya Ulama’ di Indonesia, khususnya di Wilayah Jawa, dimana sinkretisme pemikiran masih menjadi sebuah identitas sosial. Sehingga merupakan keniscayaan bbagi para alim tersebut, untuk memiliki skill yang multi matra, tidak hanya agama, tetapi kepekaan sosial bahkan ekonomi. Pola tersebut, seolah menjadi ciri dan identitas bagi Ulama’ di Jawa, di mana patronisme peran Walisongo kental menjadi penanda dan standar fungsi Ulama’ di tanah Jawa.
Kontekstualisasi tersebut, juga menjadi ghirrah K.H. Muzajajad, sosok Kiai muda yang tumbuh dan berkembang dalam kultur Jawa yang dinamis, di Wilayah Pati utara, yakni di desa Cebolek Kidul, sebuah desa kecil yang berada di sebelah utara desa Kajen Margoyoso pati. Menjadi istimewa, karena K.H.Muzajjad tidak hanya kompeten dalam ilmu pengetahuan salaf, tetapi juga memiliki sense of businness  yang baik, karena di latar belakang ekonominya adalah seorang pengusaha meubel.
Sebagai seorang kiai yang mapan secara ekonomi, dermawan dan adil. Beliau sudah menjadi kiai semenjak muda, beliau juga masih tidak meninggalkan aspek-aspek duniawi dengan bekerja menjadi pengusaha. Mbah Zajjad begitu masyarakat memanggilnya merupakan sosok aktif dimasyarakat, karena beliau mengabdikan dirinya untuk ngrumati (membimbing) masyarakatnya. Melalui upaya berdakwah bil hal dengan terjun langsung ke masyarakat.
Hal tersbut yang menarik untuk kaji, sebagai uswah  bagi generasi penerus, di mana konsistensi dan kemampuan diranjut manis dengan ketekunan atas dasar nilai-nilai Islam dan pengabdian secara kaffah.
 KH. Muzajjad lahir pada kurang lebih tahun 1910 di desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Beliau adalah putra pertama dari Romo KH. Rozi dan Ibu Nyai Hj. Sholihatun diantara 4 saudaranya yaitu Hj. Hindun, H. Aly Mudzakkir, dan Abdul Muidz
Pada masa kecilnya beliau habiskan di kampung halamannya. Beliau hidup di lingkungan keluarga yang agamis. Dari kecil beliau sudah diajarkan orang tuanya menjadi orang yang jujur, teliti dan tidak boros. Beliau tumbuh menjadi anak yang cerdas dan mempunyai pemikiran yang luas. Dari kecil beliau sudah menujukkan jiwa sosialnya yang akhirnya beliau menjadi kiai yang sukses dalam berdakwah pada masyarakatnya.
Proses pengembaraan keilmuannya diawali di masa kecil dengan belajar kepada ayahandanya sendiri dan juga kepada Romo KH. Sirodj Kajen. Selain belajar kepada ayahandanya beliau juga mengenyam pendidikan di Perguruan Islam Matholiul Falah.
 Setelah itu pada masa remaja beliau dikirim oleh ayahandanya ke Bareng Kudus untuk tholabul ilmi kepada Romo KH. Yasin. Setelah merasa cukup beliau kemudian diberangkatkan ke Pasuruan Jawa Timur oleh ayahandanya untuk belajar Ilmu Falaq kepada pamannya sendiri yaitu KH. Subadar. Dan beliau sempat pula melakukan studi tabarukkan kepada beberapa ulama Masjidil Haram saat beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Sekembali dari pasuruan beliau diminta oleh ayahandanya untuk mengajar dan mengatur urusan Pondok Pesantren Djannatul Huda. Beliau menikah dengan Hj. Muzaenab dari Kajen. Namun sayangnya beliau tidak dikaruniai seorang anak. Tapi beliau menjadi pegasuh dari santri-santrinya di Pondok Pesantren Djannatul Huda. Beliau sudah menganggap santri-santrinya sebagai anak beliau sendiri. Beliau sangat menyayangi dan memperlakukan santri-santrinya secara adil tanpa membeda-bedakan antara santri satu dengan santri lainnya.
Pada kurang lebih tahun 1962 beliau berangkat ke Makkatul Mukarromah untuk mnunaikan ibadah haji bersama dengan istri beliau yang bersamaan juga dengan KH. Muh. Zainuddin. Setelah pulang dari haji beliau turut serta membangun dan mengembangkan Madrasah Khoiriyah secara intensif dan penuh ketulusan bersama KH. Hambali, KH. Thoyyib Daiman, dan KH. Hasan. Beliau bersama teman-temannya berjasa besar dalam kemajuan Madrasah Khoiriyah. Dalam pembangunannya beliau mengambil kayu-kayu dari pegunungan untuk dibawa ke Madrasah dengan menggunakan gerobak glodok  (gerobak yang rodanya terbuat dari besi). Kemudian Beliau membuat sendiri bangku-bangku Madrasah.
Adapun kitab yang beliau ajarkan selama mengajar para santrinya selama kurang lebih 40 tahun adalah Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Ibnu Aqil, Falaq dan Rubu’. 
Baliau juga termasuk masayekh Perguruan Islam I’anatut Tholibin yang sangat berjasa besar dalam berdirinya perguruan tersebut.

Aktivitas beliau disamping menjadi kiai, beliau adalah seorang pengusaha. Pertama kalinya beliau menjadi pengusaha minyak kacang tanah, yang waktu itu belum ada yang membuatnya dan beliau mempunyai banyak karyawan. Dengan adanya pabrik tersebut, kehidupan karyawannya menjadi makmur.
Setelah menjadi pengusaha minyak kacang tanah, beliau menjadi pengusaha tenun yang memproduksi sarung dan berbagai kain lainnya. Kemudian beliau menjadi pengusaha meubel. Beliau sangat teliti dalam memilih bahannya. Kayu yang beliau gunakan harus benar-benar kayu pilihan dan kuat. Sehingga sudah berpuluh-puluh tahun hasil meubelnya masih kokoh. Selanjutnya beliau usaha pertanian sawah. Beliau terjun sendiri menggarap sawahnya. Beliau memberikan tanah kepada tiap-tiap RT untuk digarap supaya kehidupan masyarakatnya bisa terpenuhi.
Pada masa KH. Muzajjad kehidupan masyarakatnya tentram, makmur dan semua kebutuhannya tercukupi. Beliau lah yang mempunyai ide menanam dengan cara dilarik (menanam padi dengan cara sejajar) yang hingga masyarakat sekarang masih menerapkannya. Beliau ini aktif bekerja, tapi juga aktif berdakwah di masyarakat seperti mengisi pengajian di RT-RT setiap malam. Dalam masyarakat beliau dikenal sebagai kiai gaul, karena beliau mempunyai kenalan dari berbagi jenis orang, seperti orang cina, preman dan orang yang tidak mau sholat. Dengan siapa saja beliau mendekatinya tanpa pilih-pilih. Beliau berperan aktif di masyarakat dalam pembangunan desa seperti menggagas membuat jalan di desa-desa yang membuat masyarakat menjadi mudah dalam berhubungan dari tempat satu ke tempat yang lain.

Dalam perjuangannya di masyarakat beliau menjadi ketua LKMD (Lembaga Keswadayaan Masyarakat Desa) dan ketua RT. Beliau termasuk pendiri YAKI (Yayasan Kesehatan Islam) Kajen. Yang menjadi dokter pada saat itu adalah dr. Muhsin dari Demak dan mantri suntiknya Busroni. YAKI berkembang menjadi Rumah Sakit Bersalin. Beliau sangat peduli terhadap kesehatan masyarakatnya.   
“Santrinya datang dari berbagai daerah dan semua santri KH. Muzajjad menjadi orang yang berhasil.  KH. Muzajjad dikenal oleh masyarakat dan santri sebagai kiai yang sangat adil, dermawan, teliti dan gemati. Keahlian beliau dalam ilmu Falaq tidak ada tandingannya. Beliau sangat pandai membuat rubu’. Sehingga KH. Muzajjad terkenal sebagai kiai yang masyhur dalam ilmu Falaq dan Rubu’nya di daerah Pati dan sekitarnya’’  penuturan H. Sholeh Kholil sebagai santri beliau.
Pada hari Sabtu Pahing tanggal 2 April 1973 / 5 Safar 1393 H adalah hari duka untuk para santri dan masyarakat sekitarnya, karena pada hari itu santri dan masyarakat kehilangan sosok kiai yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Beliau meninggal karena mengalami kecelakaan saat beliau hendak menjenguk sahabatnya yaitu KH. Abdul Hadi, Kajen yang akan di operasi di rumah sakit Kudus. KH. Abdul Hadi ngendika “aku gelem di oprasi yen sing nunggoni yi Jajad’’. Kemudian beliau berniat datang ke rumah sakit berboncengan dengan adik iparnya Abdul Munif. Sebelum berangkat ke Kudus beliau berpesan kepada santri seniornya “aku ape neng rumah sakit tilik yi Hadi ape di operasi, dongakno mugo-mugo aku selamet. Aku titip jagakno santri-santri yo’’.
Ketika sampai di daerah Kaliampo beliau bertabrakan dengan sebuah bus. Abdul Munif seketika itu meniggal dunia sedangkan mbah jajad masih sempat dilarikan ke RSUD Pati. Tapi tidak berlangsung lama mbah jajad meninggal dunia.  Sebelum meninggal, malamnya mbah Jajad masih mengisi pengajian di RT.
Kejadian tersebut mengejutkan bagi santri dan masyarakat. Mereka menyayangkan kepergian mbah jajad karena beliau berjasa besar terhadap perubahan hidup santri dan masyarakat. Setelah kepergiannya tidak ada lagi sosok yang seperti mbah jajad. Beliau meninggalkan banyak kenangan yang selalu melekat dimemori para santri dan masyarakatnya. Pesan beliau yaitu “Dadio wong sing ati-ati, setiti, lan gemati’’.

            Mbah Jajad adalah kiai yang di segani masyarakat Cebolek Kidul dan sekitarnya. Karena beliau sangat ramah dan dermawan. Jasa-jasa beliau hingga saat ini masih di kenang oleh masyarakat. Untuk zaman sekarang jarang sekali ada kiai seperti mbah jajad. Seorang kiai tapi juga seorang pengusaha yang mempunyai banyak karyawan. Beliau kiai yang memperhatikan kehidupan masyarakatnya. Beliau bersikap adil kepada setiap santrinya tanpa membeda-bedakan. Beliau juga ikut bekerja dalam memajukan kesejahteraan desa. Kehidupan masyarakat dan santri pada saat itu benar-benar sangat tercukupi dan makmur. Pesan beliau yang masih melekat di kalangan masyarakat dan santri yaitu “Dadi wong kudu seng jujur, seng adil, seng teliti, ojo nganti dadi wong boros, karo wong liyo kudu seng ramah tamah”.
Sumber : http://djannatulhudambolek.blogspot.com/2015/08/biografi-kh-muzajjad.html

KH Yasin, Waliyullah yang Babat Alas Penyebaran Islam di Bumi Jekulo Kudus Dari Desa Cebolek



Bangunannya berukuran 4×4 meter. Berdinding tembok warna putih dengan lantai berbahan keramik. Disekitar bangunan tersebut,

sejumlah santri tampak sedang membaca Al-Quran. Di dalam ruangan terdapat dua
makam yang batu nisannya dibalur dengan kain berwarna putih. Letaknya didekat Masjid
Darussalam dan Pondok Pesantren Al-Qaumaniyah Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo,
Kabupaten Kudus.

Menurut Rifai santri Pondok Pesantren Al-Qaumaniyah, dua
makam tersebut ialah KH Yasin dan KH Sanusi. Dia menuturkan, dua ulama tersebut
ialah tokoh yang menyebarkan islam di daerah Jekulo dan sekitar. “Santri-santri
menyebutnya Waliyullah,” ungkapnya
ketika ditemui di dekat Makam KH Yasin, Selasa (7/6/2016).
Dia menuturkan, KH Yasin yang makamnya di sebelah KH Sanusi
ialah pendiri pondok pertama kali di bareng (Jekulo). Dia menuturkan, sebelum
ada pondok-pondok di Jekulo, pertama kali berdiri ialah pondok Al-Qaumaniyah
yang lebih dikenal dengan Pondok Bareng. “Bisa dibilang KH Yasin babat alas
untuk pondok di Jekulo,” ungkapnya.
Gus Khidir cucu dari KH Yasin menuturkan, pondok pertama di
Bareng ialah yang didirikan kakeknya KH Yasin tahun 1923. Sebelum tahun 1923,
ada pengajian di mushola milik Mbah Dahlan kakak ipar mbah Yasir namun
santri-santri masih pulang kerumah. “Sebelum mbah Yasin resmi mendirikan
pesantren sebelumnya ada mushola milik Mbah Dahlan yang digunakan untuk mengaji
santri,” ungkapnya.
Dia menceritakan, KH Yasin sebenarnya pendatang di Jekulo. Dia
yang mempunyai nama asli Sukandar berasal dari Desa Cebolek (Kajen), Kecamatan
Margoyoso, Pati yang menikah dengan perempuan bernama Muthi’ah putri dari KH
Yasir. Masa kecilnya dia sudah ditinggal mati oleh ayahnya H Amin (Tasmin) dan
Ibunya Salamah ketika melakukan ibadah Haji di Makkah. “Ketika itu Mbah Yasin
Kecil diasuh oleh Mbah Abdullah Salam Kajen,”ungkapnya.
Gus Khidir melanjutkan, setelah berada di Jekulo dia membuat
tempat untuk mengaji sekitar tahun 1918 atas permintaan gurunya KH Sanusi. Atas
usulan santri-santrinya akhirnya tahun 1923 Pondok Bareng (sekarang
Al-Qaumaniyah) didirikan. “Mbah nopo mboten sae damel
pesantren. Supawis santri seng gadah dalem tebih mboten wangsul setiap dinten
(Mbak, alangkah bagusnya membuat pesantren. Supaya santri yang mempunyai rumah
jauh tidak pulang setiap hari),” ungkapnya.
Dia memberitahukan, beberapa ulama
yang pernah modok dengan KH Yasin diantaranya, KH Ahmad Basir (Kudus), KH
Makmun (Kudus), KH Hambali (Kudus), KH Muhammadun (Pakis, Tayu, Pati), KH Zain
(Cebolek, Pati), KH Soleh (Sayung, Demak) dan Habib Muhsin (Pemalang).
“Banyak Kiyai-Kiyai di Jekulo dan
di luar Kudus yang dulunya nyantri
dengan Mbah Yasin,” ungkapnya.
Gus Khidir melanjutkan, KH Yasin
meninggal tahun 1957. Pondok Bareng dilanjutkan Kiyai Muhammad yang akhirnya
diberi nama Al-Qaumaniyah. “Kiyai Muhammad meninggal tahun 1999 dilanjutkan
ketiga anaknya, Gus Yasin, saya (Gus Khidir) dan Gus Mujib,” tuturnya.
Sumber : https://betanews.id/2016/06/kh-yasin-penyebar-islam-di-jekulo-kudus.html