Social Icons

KISAH DEWA RUCI

Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa  dengan nama negeri Amarta,  ingin menjerumuskan pihak Pandawa  di  negeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui  perantaraan Guru Durna. Sena yang adalah murid guru Durno diberikan  ajaran: bahwa dalam  mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,maka  diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air  suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang telah yakin tidak mungkin teritipu dan dibunuh oleh anjuran Gurunya,  tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun  sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan  Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

Dewa Ruci


Pawartos Jawi nyuwun pangestunipun para sutresna sadaya supados tetep jejeg jangkahipun mecaki lurung ingkang sangsaya rumpi sinartan jejibahan nglestarekaken lan ngrembakaken basa tuwin budhaya Jawa sanadyan kanthi keponthal-ponthal ngoyak jaman ingkang mlajeng nggendring.
Tumrap para ingkang remen olah kridha batin lan pangulir budi, wiwit sasi Juni punika pasugatan Pawartos Jawi ugi badhe ngrembag bab ingkang hangengingi kabatosan tuwin kautamaning budi kadosta piwulang ingkang tujuwanipun hanggegesang raosing kamanungsan ingkang tundhonipun sageda kula lan panjenengan sadaya dados tiyang ingkang migunakaken kekiyatanipun kangge rahayuning bebrayan ageng, boten sanes inggih lumeberipun rahayuning jagad punika.
Jer wajibing tiyang gesang punika wonten kalih prakawis, manawi boten sinau inggih mucal. Liripun sinau, inggih punika tansah ngudi undhaking kawruh lair lan batin. Liripun mucal, tansah aweh obor dhateng tiyang ingkang saweg nandhang kapetengan budi. Hewadene ingkang tansah dipunudi dening tiyang ingkang wicaksana inggih punika sageda nyumerebi cacadipun piyambak sarta mbudidhaya kados pundi amrih saenipun, punika katindhakaken saderengipun paring pamrayoga dhumateng asanes.

SERAT CEBOLEK DAN KH AHMAD MUTAMAKIN

Serat Cebolek karya Kiai Mutamakkin (yang tersimpan di perpustakaan KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan judul: “Suluk Cebolek Gedhe”). Konon, serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura .


Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.


Kisah dalam Serat ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks.

MENGUAK DESA CEBOLEK MARGOYOSO PATI



Desa Cebolek Kidul adalah Desa yang terletak di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah. Secara Geografis Desa Cebolek terletak di 6036’12.14”S 111003’44.28” E. Termasuk desa Agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil pertanian, baik sawah maupun tambak. Masyarakatnya berkehidupan sederhana dan tentram. Bahkan ada istilah hidup orang desa Cebolek Kidul “ tiktang” (angger entuk sithik yo athang-atang= Kalau sudah dapat rezeki dikit ya sudah santai-santai). Ini menurut orang tua ketika penulis tanyakan sebab di Desa ini dulu pernah ditempati Ulama besar yaitu KH. Ahmad Mutamakkin atau terkenal dengan sebutan Mbah Mutamakkin yang petilasan Kediamannya  sekarang berada disebelah selatan Pondok Al-Inayah Cebolek Kidul yaitu sekarang kampong milik keluarga Mantan Modin Sutarman RT. 3 RW III Cebolek Kidul.
Konon ceritanya di Desa Cebolek inilah Mbah Mutamakin, pada masa riyadzohnya, melakukan puasa 40 hari berturut-turut sambil mengamalkan dzikir tarekat. Dia berbuka hanya sedikit sekali, sehingga senantiasa kelaparan selama 39 hari. Pada hari ke-40, menjelang berbuka puasa, Mbah Mutamakin meminta dimasakkan makanan kesukaannya yang enak-enak, ditambah semua jenis makanan yang rasanya "mak nyuuussss." Kemudian beliau meminta agar dirinya diikat kuat-kuat di tiang tubuhnya dililit kuat-kuat dengan tali dari leher sampai kaki. Lalu semua makanan dan minuman yang  enaak tenan diletakkan di depannya. Ketika  bedug maghrib tiba. Nafsu makannya pun terbit. Tetapi Mbah Mutamakin yang terikat tentu tidak bisa mengambil makanan. Dan hawa nafsunya pun berontak. Terjadilah "pertempuran" hebat dalam dirinya. Mbah Mutamakin terus digoda agar memanggil istrinya untuk melepaskan ikatan agar bisa melahap makanan. Tetapi Mbah Mutamakin bertahan. Akhirnya hawa nafsunya sudah tak tahan lagi, dan keluar dari tubuh Mbah Mutamakin, menjelma menjadi dua ekor anjing, yang langsung melompat menghabiskan seluruh makanan. Setelah kenyang, nafsu itu ingin kembali ke Mbah Mutamakin. Tetapi Mbah Mutamakin menolaknya. Sejak itu dua ekor anjing itu menjadi peliharaannya, dan diberi nama Abdul Qahar dan Qamaruddin.