Social Icons

HUKUM NGALAP BERKAH AIR PATHOK SYEH AHMAD MUTAMAKKIN

Artikel ini sengaja saya minta dari temennya Saudara Hanik Mujahidin untuk saya posting di blog Cinta Pustaka Islam. Tujuannya sebagai bahan bacaan bagi pembaca setia Cinta Pustaka Islam. Dan mengenai Refferensi dari apdate FB beliau Ustadz Ahmad Sabiqul Himam.
Sebelum kita membahas hukumnya, alangkah baiknya kita mengenal sosok waliyullah Syeikh Ahmad Mutamakkin terlebih dahulu.


Siapakah Syeikh Ahmad Mutamakkin itu ?

Setiap 10 Muharam di desa kecil di pantai utara Jawa Desa Kajen, Pati, lautan manusia berdatangan memperingati haul KH Ahmad Mutamakkin . Sosok kiai yang lahir di Tuban ini lebih memilih Kajen, sebuah desa kecil di pantai utara Jawa, untuk menyebarkan agama Islamnya.

Beliau adalah seorang neosufis yang hidup pada tahun 1645 - 1740. Satu garis dengan cerita Jawa pada awal perkembangan Islam, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung, dan Among Raja. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang kemudian dieksekusi yang berkuasa. Bahkan, ada yang dikisahkan dibakar hidup-hidup.

Barangkali gema dari cerita yang lebih masyhur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah adalah cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat pada tahun 922.

Nama “Mutamakkin” yang bermakna orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon adalah gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari Timur Tengah.

Garis keturunan Mbah Mutamakkin dari bapak adalah Sultan Trenggono (Raja Demak III tahun 1521-1546) yang bertemu dengan pada silsilah Raden Fatah (Pendiri Kerajaan Demak 1478-1518). Dari Ibu, keturunan Sayid Ali Bejagung, Tuban Jatim. Sayid Ali ini mempunyai putera bernama Raden Tanu, Tanu ini mempunyai seorang puteri, yakni ibu Mbah Mutamakkin.

“Sumohadiwijaya” adalah nama ningrat Mbah Mutamakkin. Putera Pangeran Benawa II (Raden Sumohaidnegara) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya. Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Fatah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah.

Konon, sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak langsung pulang melainkan pergi ke daerah utara Pati. Beliau tinggal di Cebolek di sebelah utara desa Kajen.

Terdapat pula cerita yang berkembang di masyarakat setempat (foklor) menyebutkan, sepulangnya dari menunaikan Ibadah haji, beliau menaiki jin. Tiba-tiba di tengah laut, oleh jinnya, beliau dijatuhkan di tengah laut. Kemudian beliau diselamatkan “Ikan Mladang”. Beliau dilemparkan sampai di suatu tempat. Tempat tersebut dinamai Desa Cebolek.

Ada dua versi tentang asal usul desa ini. Pertama adalah dari kata “ceblok” (jatuh), dan kedua “Jebol-jebul melek” (tiba-tiba membuka mata). Di Cebolek, Pati, beliau tinggal.

Suatu malam, Mbah Mutamakkin melihat sinar yang terang di langit. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana asal sinar tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah sinar K.H Syamsuddin, pemangku Desa Kajen yang sedang melaksanakan shalat tahajjud. Tidak banyak cerita yang berkembang, kemudian Mbah Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.

Mbah Mutamakkin memiliki putra yaitu Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Di negeri orang tersebut, Kiai Bagus memiliki keturunann antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), dan K.H Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sedangkan Alfiyah dan Endro tetap tinggal di kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Ponpes Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah Pospes tertua di Desa Kajen.

Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).

Sekitar tahun 1910, K.H Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Popes Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).

Syeikh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati.

Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri – negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.

Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.

Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru. Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.

Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di maja makan hanya ia pandangi saja.

Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing. Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda mahluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.

Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yang kebetulan saat itu Syeh Ahmad Mutamakin mendapat satu makanan yang hanya berisikan ikan asin kering. Kemudian tamu itu diajak makan bersama, namun si Tamu melahap habis nasi sama ikan kering tersebut. Tamu tersebut marah dan mau naik pitam ketika Syeh Ahmad Mutamakin bilang bahwa anjing mereka saja tidak suka sama Ikan kering. Hal tersebut sangat menghinanya, maka dia menyebarkan isyu kepada para ulama-ulama se jawa.

Selebaran-selebaran tersebut mengatakan bahwa Syeh Ahmad Mutamakin sebagai seorang Muslim senjati telah memelihara anjing dan memeberi nama anjing tersebut dengan nama orang seperti Qomarudin dan Abdul Qohar, selain itu Beliau gemar melihat dan mendengarkan wayang dengan cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.

Pihak keraton mendengar berita tersebut, sehingga ia mengutus seorang ulama bernama Ki Kedung Gede untuk menguji kebenaran tersebut sebelum Keraton memanggil dengan surat teguran atau panggilan dari pihak keraton. Syeh Ahmad Muthamakin tahu maksud hati dari tamu tersebut. Sehingga Syeh Ahmad Mutamakin bahwa beliau belum tahu huruf alif sekalipun, Ki Kedung Gede semakin Gusar, karena maksud yang ada dalam pikirannya telah tertebak dengan benar oleh Syeh Ahmad Mutamakin.

Selebaran yang telah beredar di seluruh ulama Jawa, ulama-ulama tersebut mendesak kepada pihak keraton. untuk mengadakan sidang pengadilan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin yang telah keliru dalam pemahaman terhadap Agama Islam. Mereka kuatir bila hal ini tidak diatasi akan berdapak buruk pada penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.

Persidangan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin dihadiri oleh ulama seluruh jawa. Seperti Khotib Anom dari Kudus, Ki Witono dari Surabaya, Ki Busu dari Gresik. Dan ulama-ulama lainnya. Mereka sepakat menyidangkan Syeh Ahmad Mutamakin pada persidangan kartosuro. Selanjutnya tuntutan terhadap beliau dibacakan oleh Patih Danurejo, setelah mereka membacakan tuntutan-tuntutan tersebut. Patih menyuruh anak buahnya segera mengutus dua orang sebagai duta tugas kepada Syeh Ahmad Mutamakin.

Undangan yang hadir banyak sekali merka ingin menyaksikan Sidang Pengadilan Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut terjadi dua kelompok yang satu membela mati-matian Syeh Ahmad Mutamakin sedangkan kelompok yang satu menentang keras apa yang pernah dilakukan oleh Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut yang paling menonjol dalam adu argumentasi adalah Khotib Anom Kudus, Patih Danurejo, dan utusan Demang Irawan yang merupakan utusan yang ditugaskan oleh Raja untuk mengawasi persidangan Syeh Ahmad Mutamakin.

Persidangan menjadi alot, karena pihak penuntut menghendaki Syeh Ahmad Mutamakin dihukum pancung, karena telah melanggar syareat Agama, sedangkan kelompok yang satu membela matia-matian Syeh Ahmad Mutamakin. Akhirnya sidang ditunda sampai besuk. Karena bukti-bukti yang mengarah untuk dijadikan bukti untuk memvonis belum ada.

Raja Kartosuro memanggil Demang Irawan untuk mengetahui hasilnya dan kondisi terakhir persidangan tersebut. Atas saran Demang Irawan, Raja ingin memanggil Syeh Ahmad Mutamakin langsung empat mata. Raja bermimpi tentang sebidang petak sawah yang sebagian ditanami, sebagian menguning, sebagian Ketam. Mimpi tersebut selalu menghantui pikirannya, akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin disuruh menafsirkan mimpi sang Raja. Syeh Ahmad Mutamakin menafsirkan mimpi Raja, bahwa Syeh Ahmad Mutamakin dapat bebas dari tuntutan pengadilan.

Setelah peristiwa tersebut, paduka Raja memrintahkan kepada Patih Danurejo untuk segera membebaskan Syeh Ahmad Mutamakin. Namun hal ini masih ada ulama seperti Khotib Anom yang masih keberatan akan keputusan raja tentang vonis bebas Syeh Ahmad Mutamakin. Mereka berhadapan dengan ulama uang membela Syeh Ahmad Mutamakin seperti Ki Kedung Gede.

Akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin dan Khotib Anom dipanggil menghadap keraton. Tentang perbedaan pendapat yang tidak ada habis-habisnya. Dan diadakan tafsir Serat Dewa Ruci dan Bimo Suci diantara keduanya. Syeh Ahmad Mutamakin menerjemahkan serat tersebut dan mempraktekaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Khotib Anom kesulitan dalam memaknai atau tafsir mimpi Dewa Ruci/Bima Suci. Akhirnya Khotib Anom mengakui kepandaian, dan kearifan Syeh Ahmad Mutamakin.

Syeh Ahmad Mutamakin berhasil lolos dari hukuman pancung. Bahkan beliau mendapat bumi perdikan kajen. Yaitu daerah yang bebas pajak negara. Beliau diberikan kebebasan dalam menyebarkan Agama yang harus sesuai dengan kridor Islam. Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syeh Ronggo Kusumo,Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.

Peninggalan Arkeologis

Pesarean (makam) Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati.
Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Masjid Kajen, orang setempat menyebutnya. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.

Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “saka nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh.

Seperti umumnya masjid jami’, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornament yang tinggi seninya. Banyak penafsiran tentang ornament tersebut. Misalnya bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya: semangat dan do’a akan snggup untuk menggapai cita-cita yang mulia.

Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka).

Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.

Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 Ponpes yang berdiri di Desa Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai lembaga pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, namun tidak lupa kitab kuning juga diajarkan di sekolah tersebut. 

Apa Sich Air Patok (batu nisan) Mbah Mutamakkin ?


Mungkin bagi yang pertama kali denger istilah diatas akan menganggap air tersebut keluar dari sela-sela patok atau nisan. Padahal, sebenarnya air tersebut diambil dari air yang ada dalam bak kamar mandi yang biasa dipakai zairin untuk qadlaul hajat. Cuma yang membedakannya, kalau sudah menjadi air patok maka nilainya sudah jauh tinggi. Karena air tersebut sudah bersentuhan dengan patoknya orang sholih, lebih -lebih seorang waliyullah.

Jadi awalnya, air disiramkan ke sorban terlebih dahulu, kemudian sorban tersebut diusap - usapkan ke patok dan sekitarnya. Setelah itu, sorban diperas dan airnya ditampung di ember. Dari ember itulah kemudian air perasan tersebut di pindah ke botol, jerigen, plastik.

Masyarakat meyakini bahwa air tersebut mengandung keberkahan dari Allah yang maha kuasa yang dapat dijadikan obat mujarab, karena bekas atau atsar orang sholih. Pastinya mereka beri'tikad bahwa manfaat dan mudlarat datangnya hanya dari Allah semata, bukan dari makhluk. Atsar orang sholih hanya sebagai sebab yang diberikan Allah.

Orang yang belum mengerti hakikat dan karakteristik air sering mengira bahwa pengobatan alternative dengan cara meminum air yang telah diberi doa sebelumnya, merupakan suatu cara yang tidak ilmiah. Karena itu maka "layak" disebut sebagai cara yang tidak rasional. Namun, seorang peneliti Jepang terkenal, Dr. Masaru Emoto berhasil membuktikan bahwa air sanggup membawa pesan atau informasi dari apa yang diberikan kepadanya. Bahkan air yang diberi respon positif, termasuk doa, akan menghasilkan bentuk kristal heksagonal yang indah.

Hasil penelitian Masaru Emoto yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "The True Power Of Water" [Hikmah Air dalam Olahjiwa], (MQS Publishing, 2006), merupakan pengalaman menakjubkan karena membuktikan bahwa air ternyata “hidup” dan dapat merespon apa yang disampaikan manusia.

Mungkin pula ada sebagian kecil orang islam yang gegabah menganggap hal tersebut mengandung kesyirikan yang tidak punya dasar dalil agamanya. tapi benarkah tuduhan tersebut ?

Mari kita simak dalil - dalil dibawah ini !!!

1. Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau.

Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).

Dalil diatas akan bolehnya membawa tanah makam untuk tabaruk

2. Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.



“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR Bukhari dan Muslim

Hadis diatas menunjukkan bertabaruk dengan tanah kuburan para auliya dan orang shaleh.

3. Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu



عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ. (َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).



“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”

Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. 

4. Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.



عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).



5. Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:



عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.



“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)

6. Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:



قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ: كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.



“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292)

7. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:



سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ



“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (2/492).

Refferensi : FB : Ahmad Sabiqul Himam

DIAMBIL DARI : http://www.cintapustakaislam.web.id/2015/03/hukum-ngalap-berkah-air-pathok-syekh.html

Riwayat Syekh Mutamakkin

Syekh Mutamakkin adalah ulama kontroversial zaman Mataram Kartosuro, abad ke-18. Sejarah menempatkannya sebagai seorang tokoh "sempalan", sejajar dengan Syekh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Syekh Amongraga. Bedanya, "vonis sesat" bagi Mutamakkin tak berakhir maut. Berbeda dengan tiga pendahulunya: Syekh Siti Jenar divonis mati dengan sebilah pedang semasa Wali Songo. Lalu, Sultan Panggung dibakar di era Demak. Adapun Syekh Amongraga ditenggelamkan ke laut pada masa Sultan Agung.
Menurut Gus Dur, Mutamakkin tak dihukum mati karena tidak konfrontatif, walau pahamnya berseberangan dengan keraton. Dia lebih memilih hubungan yang harmonis. "Mbah Mutamakkin memakai pendekatan kultural, bukan pendekatan politik," kata Gus Dur dalam sebuah diskusi.
Syekh Mutamakkin diyakini berdarah biru. Ia dipercaya sebagai keturunan Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir. Ia terlahir dengan nama ningrat Sumahadiwijaya. Tanggal kelahirannya tak diketahui pasti. Diperkirakan tahun 1645, dan meninggal 90 tahun kemudian.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Sumohadinegoro alias Pangeran Benawa II , raja terakhir Pajang. Sedangkan ibunya putri Raden Tanu. Pangeran Benawa II adalah putra Sumahadiningrat alias Pangeran Benawa I, anak Joko Tingkir alias Mas Karebet alias Sultan Hadiwijaya.
Joko Tingkir adalah putra Kiai Ageng Pengging atau Kiai Kebo Kenongo atau Kiai Handayaningrat atau Kiai Ageng Butuh, yang makamnya terletak di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen, Jawa Tengah. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono, putra Raja Demak, Raden Fatah. Adapun ibu Syekh Mutamakkin adalah anak Raden Tanu putra Sayid Ali Asghor, trah Sunan Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Syekh Mutamakkin juga disebut-sebut punya garis keturunan langsung dengan Nabi Muhamad SAW.
Pangeran Benawa II, ayah Syekh Mutamakkin, minta suaka ke Giri setelah Pajang diserang Mataram. Tak lama, karena Giri pun akhirnya ditaklukkan Sultan Agung. Pangeran Benawa II kemudian menyingkir ke Desa Cebolek --sekitar 10 kilometer dari Tuban. Di tempat inilah Syekh Mutamakkin dilahirkan sehingga dijuluki Mbah Mbolek.
Nama Al-Mutamakkin didapatkan sepulang berguru dari Timur Tengah. Secara harfiah, dalam bahasa Arab, al-mutamakkin berarti orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini kesuciannya. Tak jelas tahun berapa ia mulai menapakkan kaki di Kajen. Diperkirakan, setelah naik haji, dia tak langsung ke Tuban, melainkan ke sebuah desa di Pati bagian utara. Kini, tempat itu pun dikenal dengan sebutan Desa Cebolek. Masyarakat di situ percaya, nama itu diberikan Syekh Mutamakkin sendiri ketika dia tiba-tiba terjaga, atau cebul-cebul melek, di atas seekor ikan mladang.
Sebuah versi menyebutkan, Syekh Mutamakkin dari Mekkah diantar muridnya bangsa jin, yang kemudian menitipkan ke ikan tersebut. Masyarakat Kajen sampai kini pantang memakannya. Kabarnya, jika dilanggar, gatal-gatal bakal menyerang seluruh tubuh.
Setelah beberapa lama menetap di Desa Cebolek, menjelang salat isya, Syekh Mutamakkin melihat isyarat sinar terang seperti bintang jatuh. Dia pun menuju sumber cahaya yang ternyata berasal dari Desa Kajen tersebut. Di sana dia bertemu Haji Samsudin, yang diyakini sebagai empu atau kiai Desa Kajen.
Kedua tokoh ini pun bertukar ilmu agama. Haji Samsudin mengakui keunggulan ilmu syariat Mutamakkin. Dia kemudian menyerahkan anak pertamanya, Nyai Qadimah, untuk diperistri Mutamakkin. Haji Samsudin juga menyerahkan Desa Kajen kepada Syekh Mutamakkin.
Yang paling gelap menggambarkan sosok Mutamakkin adalah Serat Cebolek, yang ditulis R. Ng. Yasadipura I (1729-1983). Dia dianggap sesat, karena mengajarkan tasawuf kepada masyarakat awam, yang ketika itu dilarang. Dakwah yang disampaikan Mutamakkin dianggap tak sejalan dengan syariah.
Murid Syekh Zeyn --tokoh Naqsyabandi asal Yaman-- itu dianggap ingkar sunah, karena mengajarkan mistisisme lewat kisah jagat perkeliran Serat Dewaruci. Cerita ini merupakan indigeous local anonim dan diadaptasi dari babon cerita Mahabharata. Isinya, pedoman kesempurnaan hidup, yang dipaparkan lewat dialog Bima dan Dewaruci. Lakon ini dikenal sejak zaman Wali Songo.
Mutamakkin juga dianggap kelewatan karena menamakan anjing-anjingnya dengan nama persis penghulu kerajaan: Abdul Kahar dan Qomaruddin. Dalam Serat Cebolek, sosok Mutamakkin benar-banar dikerdilkan. "Jika dia tidak pernah ke Mekkah, dia lebih cocok sebagai penjual jerami atau pengadu," kata Demang Urawan, Bupati Jero yang diperintahkan Raja Pakubuwana II untuk menyeleksi dewan ulama yang mengadili Mutamakkin.
Dewan itu beranggotakan 11 orang. Sembilan di antaranya merekomendasikan kepada raja agar Mutamakkin dibakar di atas pematang kayu. Raja tak setuju. Dia beranggapan bahwa mistisisme Mutamakkin hanya untuk dirinya sendiri. Dia minta Mutamakkin diampuni dengan syarat tak akan mengulangi lagi. Praktis, pengadilan itu berlangsung searah: sama sekali tak ada pembelaan dari Syekh Mutamakkin.
Ketika ditantang Kiai Anom Kudus, yang memimpin dewan ulama, untuk memberikan tafsir Serat Dewaruci, Mutamakkin disebut-sebut hanya bungkam. Kiai Anom Kudus malah sempat menyindir Mutamakkin untuk pergi lagi ke Arab, belajar kitab. Dalam Serat Cebolek, Kiai Anom Kudus dilukiskan sangat cemerlang. Serat Dewaruci dipaparkan dengan sangat gamblang dan terang.
Versi Serat Cebolek itu "diputihkan" Teks Kajen. Yang kedua ini berasal dari cerita lisan yang ditururkan secara turun-temurun dan dibukukan pada 1972 oleh seorang pengikutnya. Soal memelihara anjing, Teks Kajen, seperti juga masyarakat Kajen, punya tafsir lain. "Jangan diartikan secara mentah," kata Kiai Sahal Mahfudz, seorang keturunan Syekh Mutamakkin yang kini menjabat Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Diyakini bahwa binatang itu adalah jelmaan hawa nafsu Syekh Mutamakkin. Diceritakan, selain tekun mendalami ilmu agama, Mutamakkin sering menjalani riyadloh, dengan mengurangi makan, minum, dan tak tidur berhari-hari. Penjelmaan hewan ini terjadi ketika Mutamakkin berpuasa 40 hari. Menjelang berbuka, istrinya, Siti Zulaiqoh, disuruh memasak makanan yang lezat. Untuk mengekang nafsu makan, ia mengikatkan kedua tangannya dengan tali pada tiang rumah menjelang berbuka puasa. Nah, saat itulah nafsu Syekh Mutamakkin berubah menjadi dua ekor hewan yang segera melahap hidangan sampai tandas. Ketika hewan itu ingin masuk kembali, Mutamakkin menolaknya.
Satu versi menyebutkan, kedua hewan itu berupa seekor anjing dan singa. Yang lain menyebutkan, kedua-duanya anjing. Kedua hewan itu diberi nama mirip dengan penghulu dan katib di Tuban, Abdul Qahar dan Qumaruddin. Kedua binatang itulah yang selalu mengikutinya ke mana pun Mutamakkin pergi.
Suatu hari, Mutamakkin kedatangan seorang tamu. Ia menjamu makan dengan lauk ikan kering dari berkat yang dia dapat. Eh, si tamu melahap habis hidangan itu. Durinya pun tak bersisa. Saat itu, Syekh Mutamakkin mengatakan bahwa anjingnya saja tak pernah makan nasi dan ikan hingga ludes sampai duri-durinya. Seketika itu juga, tamunya pergi dan marah-marah.
Nah, sejak saat itulah, isu miring tentang kiai pemelihara anjing ini mulai menyebar ke masyarakat. Penyebarnya tak lain tamunya yang rakus tadi. Mutamakkin juga dituduh menyebarkan ajaran sesat, karena senang membolak-balik lakon Dewaruci.
Cerita miring itu akhirnya sampai ke penguasa Keraton Kartosuro, yang ketika itu dipegang Susuhunan Amangkurat IV (1725-1726), yang kemudian diteruskan Pakubuwono II. Syekh Mutamakkin lalu disidangkan di Mahkamah Keraton Kartosuro di depan para kiai yang sudah mendapat mandat dari raja, seperti Kiai Anom dari Kudus, Kiai Winata dari Surabaya, dan Kiai Busu dari Gresik.
Berbeda dengan yang ditulis dalam Serat Cebolek, dalam Teks Kajen Syekh Mutamakkin dilukiskan sangat pandai beragumentasi tentang konsep akidah dan syariah. Bahkan para kiai yang sulit memaknai cerita Bima Suci ketika menghadap Dewaruci dijelaskan secara gamblang oleh Syekh Mutamakkin. Sebab, lakon itu mirip ajarannya --Bima mencari ilmu sejati, yang tak lain adalah ilmu tasawuf.
Para kiai pun terpecah dua. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya. Akhirnya Raden Demang Urawan menjelaskan kontroversi itu kepada raja. Syekh Mutamakkin pun dipanggil. Semula Mutamakkin enggan memberikan penjelasan. Tapi, setelah raja bersedia dibaiat jadi muridnya, dia menguraikan segalanya.
Raja merasa puas. Mutamakkin pun dibebaskan dari hukuman bakar yang ketika itu sudah dipersiapkan. "Apabila aku tidak belajar pada Mutamakkin, niscaya aku akan mati kafir," kata Pakubuwono II ketika itu.
Teks Kajen jelas sangat bertolak belakang dengan Serat Cebolek, yang menggambarkan Mutamakkin di-KO Ki Anom Kudus saat berdialog tentang hikmah Serat Dewaruci. Mana yang benar? Zainul Milal Bizawie menyebutkan, keduanya punya cacat mendasar yang membuatnya tak bisa diterima sebagai rujukan sejarah. Ia meragukan orisinalitas dan otentitasnya. Saat Serat Cebolek terwujud, Yasadipura sebagai pengarang masih balita sehingga tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mengacu pada penelitian Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar studi Asia University of Melbourne, Australia, menurut Zainul, pengarang yang sebenarnya adalah Ratu Pakubuwono I. Jika Yasadipura I dicatat sebagai pengarang, itu berarti telah terjadi penuturan ulang sehingga terjadi proses selektif dan distorsi.
Atas dasar itulah, Zainul menyimpulkan, penulisan Serat Cebolek merupakan poyek keraton dalam membentuk konstruksi kebudayaan dan keberagaman Islam Jawa. Pemunculan tokoh martir yang dianggap sesat menjadi hal yang mustahak. Dalam akhir Serat Cebolek, pengarang menuturkan cuplikan kematian para tokoh heretik, mulai Sunan Panggung, Syekh Siti Jenar, Amongraga, hingga Ki Bebeluk.
Adapun Teks Kajen, menurut Zainul, validitasnya diragukan karena bersumber dari cerita turun-temurun secara lisan. Fakta dan mitos sudah berbaur. Masa penulisannya juga selang jauh, sekitar tiga abad kemudian, sehingga memungkinkan adanya distorsi. Lainnya, Teks Kajen tak selengkap Serat Cebolek, terutama saat persidangan dan perdebatan mengenai kandungan Serat Dewaruci.
Bisa jadi, Teks Kajen merupakan duplikasi Serat Cebolek yang telah dimodifikasi untuk kepentingan lokal. Teks Kajen diposisikan Zainul sebagai bentuk perlawanan kultural atas sejarah keraton yang mendiskreditkan Mutamakkin. Zainul, yang secara khusus mengkaji paham keagamaan Syekh Mutamakkin lewat Arsy al-Muwahiddin, menyebutkan, tudingan bahwa Syekh Mutamakkin ingkar sunah sangat mengada-ada.
Kitab ini tak tersusun secara sistematis, tapi lebih bersifat catatan harian. Sebab ditulis langsung oleh Syekh Mutamakkin, tentunya lebih sahih sebagai sumber sejarah ketimbang Serat Cebolek atau Teks Kajen.
Naskah Arsy al-Muwahiddin menjelaskan pandangan tasawuf Mutamakkin, yang ternyata masih dalam bingkai syariah. Dengan demikian, ia bukan penganut tasawuf falsafi yang kerap dinilai mengabaikan syariah. Mutamakkin justru penganut tasawuf Suni, yang menggabungkan tasawuf dengan syariah ala Al-Ghazali.
Para pengikutnya sejak dulu sampai sekarang tetap meyakini Mutamakkin sebagai seorang waliyullah. "Kalau Mutamakkin dianggap membawa ajaran sesat, mungkin tidak akan ada yang berziarah ke makamnya," kata Sahal Mahfudz, yang kini menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Oleh: Hidayat Tantan dan Sujoko