Serat
Cebolek karya Kiai Mutamakkin (yang tersimpan di perpustakaan KHP Widya
Budaya Keraton Yogyakarta dengan judul: “Suluk Cebolek Gedhe”). Konon,
serat ini ditulis R. Ng. Yasadipura I ( 1729-1803 ) -yanf berdasarkan
penelitian Riklefs, olehnya diragukan sebagai karya Yasadipura .
Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan
Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib
Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai
Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin
telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak ramai, ajaran yang
dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada
pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri
Kiai Mutamakkin.
Tetapi sebuah teks dari desa Kajen, Pati,mengisahkan “serat” yang
berbeda, di mana Kiai Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang
benar. Kisah Kiai Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir “tipikal”
dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”,
ilmu hakikat dan ilmu syari’at, Islam ortodoks dan Islam heterodoks,
“serat resmi,’” dan “serat rakyat’. Apakah ketegangan- ketegangan dalam
tubuh Islam sekarang ini bisa dilihat, antara lain, melalui kisah Kiai
Mutamakkin ini?
Oleh Gus Dur aliran Mutamakin ini disebutnya sebagai model keempat,
yaitu model Jawa yang menyatakan hubungan Islam dengan kekuasaan, di
mana memposisikan Islam bukan sebagai oposisi, tetapi mengembangkan
kultur Islam yang berbeda altematif) terhadap pemahaman kekuasaan yang
ada.
Sebagai bahan banding, ada baiknya jika kita membuka Serat “Sastra
Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah yang lebih tua dari
Serat Cebolek, yang antara lain memuat bait tembang Sinom:
“Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal
wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran tembang
gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane Dhat, swara saking osik
wadhi, Osik muiya entaring cipta-surasa “.
Sultan Agung menegaskan” bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama
Islam kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan oleh
arus syariat. Diperingatkan olehnya, bahwa pedoman yang harns
diingat-ingat ialah:
“Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang”.
Jadi hakikat dan syariat kedua-duanya penting. Meskipun demikian,
hakikatlah yang harus diutamakan, sebab memahami hakikat lebih sukar
daripada melihat syariat. Jika orang mengutamakan syariat tetapi
meninggalkan hakikat, berarti sarna dengan mengej ar kulit dan melupakan
isi. Ibarat orang memakai baju tetapi tak bernyawa. Demikianlah
petunjuk Sultan Agung yang membekali kita dalam ibadah.
Dalam terjemahan bebas, ungkapan di atas berarti demikian:
“Jika syariat sembahyang tidak dituntun oleh kesucian jiwa, maka
batallah shalat seseorang. Dan tak ada perlunya orang memelihara hidup
kebatinan, apabila tidak berisi usaha mengagungkan Dhat Allah”.
Petunjuk Sultan Agung itu ada persamaannya dengan kritik Prof Dr. Ahmad
Syalabi. Dalam bab yang berjudul .’Mempelajari raga tanpa mempelajari
jiwa”, sarjana-ulama Mesir dari Universitas Cairo itu mengecam keras
ulama-ulama Mesir abad-20, yang secara dangkal melihat semua segi
kehidupan beragama dari segi materiilnya saja.
Sosok Syekh Ahmad Mutamakkin
Tak banyak literatur yang membahas tentang kehidupan pribadi Syekh Ahmad
Mutamakkin. Salah satu buku yang membahas tentang sosoknya adalah karya
Zainul Milal al-Bizawie, yang berjudul Perlawanan Kultural Agama Rakyat
(Pemikiran dan Paham Ke agama an Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam
Pergumulan Islam dan Tradisi, 1645-1740).
SILSILAH SYAIH KH. AHMAD MUTAMAKIN
Versi Kajen / Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
- Brawijaya V (Raja Wilwatikta terakhir)
- Raden Patah Sayid Ali Akbar (Sultan Demak )
- Sultan Trenggono
- Putri Sultan Trenggono menikah dg Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor (Joko Tingkir)-
- Sumo Hadiningrat Raden Tanu (Pangeran Benowo)
- Sumohadinegoro menikah dengan Putri Raden Tanu
- Syekh Ahmad Mutamakkin
Ulama asal Cebolek ini menawarkan pendekatan baru dalam membangun akidah
umat. Sebagian orang, ada yang memandang rendah seorang ustadz atau
kiai yang berasal dari kampung. Umumnya, para ustadz atau kiai kampong
ini dianggap kolot, ndeso, sarungan, dan kampungan. Kesan itu biasanya
diungkapkan oleh orang-orang yang tidak mengenal kepribadian sang tokoh
tersebut.
Namun siapa sangka, tokoh yang biasa pakai sarung, dianggap tak punya
keilmuan lebih dibandingkan orang-orang yang berasal dari perkotaan,
justru tampil elegan, moderat, dan punya cara elegan dalam melakukan
pendekatan dengan penguasa.
Itulah Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ustaz, ulama, dan kiai yang
berasal dari Kampung Cebolek, sekitar 10 kilometer dari Tuban. Namun,
kemudian menetap di Desa Cebolek, Kajen, Pati, hingga wafatnya. Sebagian
Muslim di Jawa Tengah, menyebut tokoh ini dengan nama Mbah Mbolek atau
Mbah Mutamakkin. Demikian penuturan Hasyim Asyari, peneliti senior pada
Central Riset dan Manajemen Informasi (CeRMIN), Kudus.
Hasyim menjelaskan, berdasarkan keterangan masyarakat sekitar Kajen,
Mbah Mutamakkin ini masih keturunan bangsawan Jawa, dari garis bapak
adalah keturunan dari Raden Patah (Sultan Demak) yang berasal dari
Sultan Trenggono. Sedangkan dari garis ibu, Syekh Mutamakkin adalah
keturunan dari Sayyid Aly Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Sayyid ini
mempunyai putra bernama Raden Tanu. Dan, Raden Tanu ini mempunyai
seorang putri yang menjadi ibunda Mbah Mutamakkin. “Dipercayai bahwa
nama ningrat Mbah Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya, yang merupakan putra
Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden
Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging
bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V,” jelas Hasyim.
Serat Cebolek dan Teks Kajen
Mayoritas umat Islam di Indonesia mungkin kurang mengenal nama Syekh
Ahmad Mutamakkin. Namun demikian, di Jawa Tengah khususnya, nama tokoh
ini begitu lekat dengan kehidupan masyarakat. Tokoh ini dikenal sebagai
seorang “pemberontak” melawan arus kekuasaan. Ia juga dikenal sebagai
tokoh yang kontroversial, ketika itu. Zainul Milal Bizawie dalam
bukunya, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan Paham
Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi,
menyebutkan, tokoh ini sebagai seorang “neo-sufi” pada abad ke-17-18
Masehi (1645-1740 M).
Menurut Zainul, Syekh Ahmad Mutamakkin adalah tokoh sufi atau penganut
tasawuf yang prosekusi dari yang berkuasa. Sebuah kehidupan kaum sufi
yang memiliki pandangan berbeda dengan pandangan umat. Seperti halnya
Husain Ibn al-Hallaj yang wafat pada 922. Syekh Ahmad Mutamakkin ini
juga dikaitkan dengan cerita lain yang terkenal pada awal perkembangan
Islam di Jawa, yaitu Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Sunan
Panggung, dan Amongraga.
Dalam Serat Cebolek disebutkan, Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama
kampung, berseteru dengan ulama birokrat (Keraton Solo) yang diwakili
oleh Katib Anom Kudus. Dalam serat ini dikisahkan, Syekh Ahmad
Mutamakkin mengajarkan ilmu hakikat (tasawuf) kepada khalayak ramai.
Namun, ajaran ini dianggap sesat oleh sejumlah ulama lain, termasuk
Katib Anom.
Katib Anom lalu melaporkan hal ini pada pihak Kerajaan Kartasura di
Solo. Pengadilan pun dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin. Menurut Gus
Dur, pandangan ulama-ulama itu begitu tampak membebek dengan kekuasaan.
Sementara itu, Syekh Ahmad Mutamakkin berani melakukan perlawanan
kultural dengan kekuasaan yang dianggap salah.
Dalam pandangan Gus Dur, Syekh Mutamakkin memiliki pendapat yang berbeda
dengan ulama dan pihak Keraton dalam mengajarkan Islam pada umat.
Sebab, Islam itu bukan hanya fikih, tetapi juga ada ilmu lain, seperti
tasawuf. “Beliau tampaknya ingin memperkenalkan kultur baru atau budaya
baru dalam mendidik rakyat,” jelas Gus Dur pada sebuah diskusi mengenai
Kehidupan Syekh Ahmad Mutamakkin, beberapa waktu silam.
Sultan Hamengkubuwono X dalam artikelnya berjudul Misteri Mantra dalam
Naskah-naskah Keraton, menyatakan, kisah dalam Serat Cebolek tampaknya
memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks, ketimbang usaha
yang dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Peran Syekh Ahmad Mutamakkin yang “melawan kekuasaan” sebagaimana
disebutkan dalam Serat Cebolek, justru bertolak belakang dengan Teks
Kajen. Dalam teks ini, Syekh Ahmad Mutamakkin digambarkan sebagai
seorang pahlawan yang berani menentang kejahilan. Bahkan, dalam teks
ini, Syekh Mutamakkin dipandang sebagai pihak yang benar. Menurut Sultan
HB X, Syekh Mutamakkin mewakili pola atau “tipikal” ajaran dalam
sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”, ilmu
hakikat dan ilmu syariat, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, “serat
resmi” dan “serat rakyat”.
Dalam Serat “Sastra Gendhing” (Kesucian Jiwa) karya Sultan Agung, naskah
yang lebih tua dari Serat Cebolek, memuat beberapa bait tembang Sinom.
Pramila gendhing yen bubrah, gugur sembahe mring Widdhi, Batal
wisesaning shalat, tanpa gawe ulah gendhing, Dene ngran tembang
gendhing, tuk ireng swara linuhung, Amuji asmane Dhat, swara saking osik
wadhi, Osik muiya entaring ciptasurasa.
Sultan Agung menegaskan bahwa kesalahan orang dalam mempelajari agama
Islam, kebanyakan terletak pada kecenderungan untuk mudah dimabukkan
oleh arus syariat. Diperingatkannya, pedoman yang harus diingat-ingat
ialah: “Syariat tanpa hakikat adalah kosong. Sebaliknya, hakikat tanpa
syariat menjadi batallah shalat seseorang.” Hal ini senada dengan
pandangan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. “Hakikat dan syariat itu
penting. Belajar syariat tanpa hakikat adalah kosong, tak berguna. Dan,
hakikat tanpa syariat, maka batal.” Orang yang mengutamakan syariat dan
meninggalkan hakikat, bagaikan mengejar kulit, namun melupakan isi.
Guru Besar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ahmad Syalabi, dalam
Mempelajari Raga tanpa Mempelajari Jiwa, mengecam cara-cara ulama Mesir
abad ke-20 yang secara dangkal melihat semua segi kehidupan beragama
dari segi materiilnya saja. Seperti itulah pola pengajaran yang
dilakukan Syekh Ahmad Mutamakkin.
Menurut Hasyim Asyari, ajaran Islam tak hanya dilakukan dengan
pendekatan fikih, tafsir, dan lainnya. Islam juga bisa didekati dan
dikenali melalui pendekatan hakikat dan tasawuf. Mungkin, karena hal
inilah sebagian ulama fikih, seperti Katib Anom, Kudus, merasa khawatir
dengan ajaran yang dikembangkan Syekh Ahmad Mutamakkin. Sehingga,
dikhawatirkan pemahaman keagamaan seperti ini akan membahayakan akidah
umat yang baru belajar tentang keislaman.
Namun demikian, bagi Syekh Ahmad Mutamakkin, pengenalan jati diri dan
hakikat ketuhanan, sangat penting dalam membentuk pemahaman umat. Sebab,
agama Islam bukan hanya transaksional semata, yakni sekadar pahala dan
dosa, atau surga dan neraka. Sebab, surga dan neraka adalah urusan
Allah. Karena itu, mengenal Allah akan membentuk diri seorang Muslim
makin mencintai Sang Penciptanya. Sebab, orang yang sangat cinta pada
Allah, akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira. Kebahagiaannya
jauh melebihi segalanya.
Pemahaman seperti ini pula yang dilakukan oleh Rabiatul Adawiyah, dalam
menjalankan ibadah. Simak ungkapan Adawiyah. ?Ya Allah, kalau ibadahku
semata-mata karena mengharapkan surga-Mu, maka jauhkanlah surga itu dari
pandanganku. Kalau ibadahku karena takut akan neraka-Mu, dekatkan
neraka itu padaku, biar jiwaku ada di dalamnya. Bagiku, Engkau cukup.?
Wa Allahu A?lam.
Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum mbah mbah Kyai Abdurrahman
(salah satu dari mursyid Thoriqot Naqsabandiyah Rowobayan), Sumahadi
Negoro atau Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai
Mutamakkin Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati,
Jawa Tengah. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama
asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya selalu diadakan setiap 10 Muharam di
Pati.
Ahmad Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan
Solo – antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu
Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau
terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam
menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau
oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah
tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab)
yang menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh
Raden Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton).
Serat itu mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori
“Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai
ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton
Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah
pengadilan atas Kyai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek
itu. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya
untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa
Ruci
Ayah mbah Sabil (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan
Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu
oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan
Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi bagi telinga-telinga
orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng Ngabdul Rakhman yang
berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang asyik bekerja di
sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang sedang
giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di ikat pada
sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang masih
menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh
Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa
Tengah. ( dari:http://santrimabny.blogspot.com/2012/09/serat-cebolek-dan-kh-ahmad-mutamakin.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar