Social Icons

Pangeran Benawa

Menurut tradisi Jawa, Pangeran Benawa adalah raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Prabuwijaya.

Silsilah Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.

Kisah Hidup Pangeran Benawa

Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya.

Akhir Kerajaan Pajang

Naskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.
Sepeninggal Benawa, Kerajaan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.

MENELUSURI KEBERADAAN MAKAM PANGERAN BENOWO

Pangeran Benowo merupakan Putra dari raja Pajang hadi wijoyo, beliau seorang yang sangat rendah hati.Berjiwa mulya tidak haus akan kekuasaan, Maka tak heran kalau keberadaanya beliau selalu di nanti rakyat saat itu. Terlepas dari itu semua yang menarik perhatian saya adalah di mana sebenarnya Makam Pangeran benowo, Sebab dari beberap fernsi yang aku temukan ada 6 daerah yang mengklaim keberadaan makom pangeran benowo, Yang pertama adalah di  Kendal, masyarakt setempat meyakini keberadaan makam tersebut berada disana, tepatnya di di kompleks makam Desa Pakuncen, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah.sekitar dua kilometer dari kompleks makam Pekuncen, terdapat sebuah goa yang dinamakan Goa Pekukulan dimana Pangeran Benawa bertapa. yang kedua di jawa timur, yakni di desa wono kromo kabupaten Jombang, di tegal juga di yakini sebagi tempat peristirahatan terakhir beliau tepatnya di Desa Balomoa,kecamatan panggah tegal, Ada lagi yang berkeyakinan di solo, di situ terdapat sebuah jembatan dari kayu yang sampai sekarang keberadaanya masih utuh berkali-kali mau di pindah untuk pelebaran jalan akan tetapi tidak bisa, yang terakhir yang saya tau adalah di kecamatan Pucak Wangi pati, tepatnya di dusun Maratapa Desa Wateshaji Kec. Pucakwangi, Kab. Pati Jawa Tengah selain itu juga di belakang Masjid Demak juga terdapat pemakaman beliau.
Di pucak wangi pati, makam pangeran benowo berada di pucuk gunung di dusun moro topo, Keberadaan makam tersebut jauh dari hingar bingar keramaian, sebelum sampai kemakam kita akan menaiki perbukitan yang penuh dengan pohon-pohon rindang, bagi orang-orang yang suka bertualang makam di sana selain sebagi tempat untu berwisata relegi juga sebagi tempat berwisata alam, di dalam hutan Moro topo ada satu tempat beristirahat untuk orang-orang yang suka camping, Selain itu juga terdapat gua yang di yakini masyarakat setempat ada penungunya berupa harimau, Mengapa keberadaan Makom beliau ada disana, Ini cerita dari masyarakat setempat, berawal dari carut-marutnya perebutan kekuasaan di pajang kala itu setelah Sultan hadi wijoyo wafat, Pangeran Benowo yang merupakan putra tertua laki-laki dari sultan hadi wijoyo yang seharusnya menempati sebagai raja pajang di tentang oleh Sunan kudus, menurut sunan kudus  pangeran Pangirilah yang berhak untuk menduduki tahta tersebut karena menurut sunan kudus pangeran pangiri merupakan pangeran tertua dari trah hadi wijoyo, biarpun dia hanya sebagai anak mantu dari sultan hadi wijoyo, Mau tidak mau pangeran Benowo mengikuti petuah sang sunan Kudus, dan Beliau hanya kebagian sebagai Bupati Di jipang paniolan, Akan tetapi apa yang terjadi ternyata kepemimpinan pangeran pangiri malah menyengsarakan rakyat banyak desakan untuk merebut kekuasaan tersebut dari berbagai kalangan, maka  Pangeran Benowo meminta pendapat dari saudara angkatnya Suto Wijoyo, suto wijoyopun meng iyakan mengingat rakyat semakin sengsara, maka terjadilah penggulingan kekuasaan Pangeran benowo yang di dukung penuh rakyat menang memaksa turun kakak iparnya tersebut, dan kak iparnya di pulangkan ke demak, Pangeran Benowopun naik tahta, akan tetapi kenaikan ini tidak begitu lama dia hanya satu tahun memimpin Pjang hingga akhirnya kekuasaan di serahkan kepada Suto wijoyo dan beralih pemerintahan ke Mataram. Penyerahan ini pun beralasan, karena pangeran benowo ingin mengasingkan diri alias bertapa atu mendekatkan diri kepada tuhan, Maka pergilah beliau ke arah barat dan menaiki gunung, akhirnya sampailah beliau di suatu gunung yang sunyi di Desa wates aji dukuh moro topo kecamatan pucak wangi pati. Dukuh moro topo berasal dari kata MORO DAN TOPO (DATANG DAN BERTAPA), karena pangeran Benowo datang ketempat sunyi pucuk gunung datang dan bertapa, makanya sampai sekarang daerah tersebut di namakn gunung moro topo.
Haul pangeran Benowo di laksanakan setiap tahunya di bulan besar dzul hijjah tiap tanggal sebelas, banyak ulamak dari berbagai daerah datang ketempat tersebut untuk mengikuti haul, biasanya kegiatan yang di laksanakan adalah hotmi Qur"an selain tahlil umum serta pengajian akbar.
Nah bagi teman-teman dan saudara-saudara yang mau mengunjungi dan berziarah ke makam tersebut silahkan, anda selama perjalanan akan di suguhi pemandangan alam yang cukup indah, hamparan sawah dan hutan, dan sesampainya di sana anda bisa untuk sekalian wisata alam dengan mengunjungi Gua yang berada di daerah tersebut.
Keberadaan dan keyakinan berbagai daerah tentang keberadan makon Pangeran Benowo memang  tak bisa di salahkan, karena mereka mempunyai sejarah serta bukti-bukti tersendiri, di mana sebenarnya makam beliau Wallu  A"Lam bissowap. alfatihah

Nasab dan Silsilah Mbah Sabil atau Mbah Menak

 
Mbah Sabil berasal dari Mataram Jogya, tapi tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum mbah mbah Kyai Abdurrahman (salah satu dari mursyid Thoriqot Naqsabandiyah Rowobayan) mbah Sabil yang mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma tersebut adalah anak laki-laki dari Benawa. Benawa mempunyai saudara laki-laki bernama: Sumahadi Negoro atau Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai Mutamakkin Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya selalu diadakan setiap 10 Muharam di Pati.

Ahmad Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan Solo - antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu Amangkurat IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau terlibat dalam perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab) yang menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton.

Serat itu mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori “Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah pengadilan atas Kyai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa Ruci

Ayah mbah Sabil atau Mbah Menak (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi bagi telinga-telinga orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng Ngabdul Rakhman yang berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang asyik bekerja di sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang sedang giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di ikat pada sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang masih menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. 
 
Mbah Sabil (Mbah Menak) sendiri mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang Kusuma. Beliau adalah orang rantau dari kerajaan Mataram Jogya. Pada sekitar + abad XVII, beliau dikejar-kejar oleh Belanda, kemudian menyelamatkan diri kearah timur hingga sampai di Dusun Jethak-Bojonegoro. Beberapa saat setelah kedatangannya di Jethak, namanya diganti Sabil karena kekhawatiran beliau diketahui oleh Belanda, toh pada akhirnya ketahuan juga oleh kaum penjajah. Kemudian dari Jethak melarikan diri lagi, menyelamatkan diri hingga tiba di Dusun Jumok. Tempat ini masuk wilayah kecamatan Ngraho bagian timur, kira-kira 15 km dari Kecamatan Padangan ke arah selatan
 
Setelah beberapa saat tinggal di Jumok, mbah Sabil (Mbah Menak )berencana untuk pergi ke Ampel Surabaya. Perlu diketahui bahwa mbah Sabil adalah alumni Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya, hanya tidak diketahui kapan beliau belajar disana. Dalam rencananya, kepergian mbah Sabil ke Ampel harus sudah sampai tujuan dalam waktu semalam. Setelah ditentukan harinya, beliau berangkat dari Dusun Jumok ke Ampel Gading Surabaya setelah sholat Isya’. Beliau berjalan ke-arah Ngraho lalu ke barat dan diteruskan ke utara hingga akhirnya berhenti di Bengawan Solo. Setelah tiba di bengawan, beliau milir/ngintir mengikuti aliran Sungai Solo dengan menaiki kranjang mata ero serta membawa peralatan memasak seperti kendil, enthong dan lain-lain, yang saat ini diketahui bahwa peralatan tersebut ditanam dipojok sisi timur bagian depan didalam makam.

Bersamaan dengan mbah Sabil ngintir, beliau tiba disalah satu tikungan Bengawan Solo, mbah Sabil dengongok/anguk-anguk . Ditempat mbah Sabil anguk–anguk inilah lama kelamaan tempat tersebut dikenal sebagai Desa Dengok. Mbah Sabil ngintir lagi ke timur, beliau mendengar suara burung Gemek ngoceh (berkicau), akhirnya tempat tersebut berubah menjadi Dukuh Dema’an. Perjalanan diteruskan ke timur dengan kranjang mata ero-nya, hingga mendengar burung jalak ngoceh dan menjadilah dukuh Jalakan. Dari Jalakan langsung ketimur dan terdengar ada ayam jago yang sedang berkokok. Hal ini menarik perhatian mbah Sabil, ternyata ayam jago tersebut berada disekitar kalangane (daerahnya) tempat sabung ayam, sehingga tempat tersebut dinamakan dukuh Kalangan.

Bersamaan beliau tiba di salah satu tempat, Fajar Shodiq sudah terlihat, akhirnya tempat tersebut dinamakan Pajaran asal dari kata Pajar (fajar). Fajar Sendiri dalam pengertianya ada dua dari keseluruhan hukum-hukum yang telah dijelaskan Rasulullah yaitu fajar kadzib dan fajar shodiq. Fajar kadzib adalah cahaya warna putih memanjang bersinar yang nampak dari atas ke bawah seperti ekor srigala dan sedikit-demi sedikit hilang. Fajar ini tidak menghalalkan sholat subuh, dan tidak mengharamkan makanan bagi orang yang sedang berpuasa. Sedangkan fajar shodiq adalah warna merah yang bersinar tersebar, yang melintang diangkasa diatas puncak bukit-bukit dan gunung-gunung, tersebar di jalan-jalan, gang-gang, rumah-rumah, dan inilah yang berhubungan dengan hukum-hukum puasa dan sholat .

Semakin lama akhirnya Pajaran disebut juga Padangan, karena sudah Padang (terang). Berhentikah mbah Sabil ?...tidak ! Akhirnya beliau terus ke timur, hingga bertemu dengan mbah Hasyim yang saat itu sedang mengambil air wudhu di tepi Sungai Solo. Saat itu Bengawan Solo masih kecil dan sempit tepat kiranya bila disebut Sungai.
Terlihat oleh mbah Hasyim dari arah barat, sesuatu bergerak menuju ke-arahnya. Mbah Hasyim penasaran melihat “sesuatu” tersebut. Setelah diperhatikan dengan cermat, ternyata ada seseorang yang sedang naik keranjang, dan lebih-lebih tambah penasarannya setelah diketahui keranjang tersebut ternyata kranjang mata-ero. Anggapan mbah Hasyim, jelas ini bukan sembarang orang dan ditunggulah orang tersebut. Setelah dekat mbah Sabil yang masih bersila diatas keranjang ajaib itu ditanya oleh mbah Hasyim: “Gerangan mau kemana ki sanak ?”. Lalu dijawab oleh mbah Sabil: “Kula bade kesah wonten Ampel Denta Surabaya” (saya mau pergi ke Ampel Surabaya). Kemudian mbah Hasyim menawarkan sudilah kiranya mbah Sabil mampir dulu barang sebentar dirumahnya, “Mangga kula aturi pinarak wonten griya, mangga, mangga...” katanya. Dan turunlah mbah Sabil dari keranjang tersebut untuk memenuhi permintaan mbah Hasyim. Kemudian mbah Hasyim membawakan keranjang mbah Sabil sambil berjalan beriringan menuju kerumahnya.

Sesampai di tujuan, mereka berdua melaksanakan sholat berjama’ah di Langgar mbah Hasyim. Usai sholat mbah Hasyim matur : “Sebenarnya saya berharap, ki sanak untuk tetap tinggal disini, karena saya membutuhkan bantuan ki sanak untuk menyiarkan agama Islam disini”. Singkat cerita, mbah Sabil manut mengikuti apa yang diinginkan mbah Hasyim - agar kepergiannya ke Ampel Gading dihentikan alias di KUNCI. Akhirnya tempat tersebut akibat dari pergeseran waktu dan kata menjadi Kuncen asal dari kata kunci. Maka peristiwa inilah asal mula Desa KUNCEN.

Di Desa Kuncen, mbah Sabil dan mbah Hasyim menjadikan Langgar yang semula kecil, dibangun menjadi lebih besar dan dipergunakan untuk sholat jum’at merangkap pula sebagai sebuah Pesantren. Lokasinya berada di Kuncen sebelah utara, kira-kira ke arah timur-laut dari tugu pahlawan. Tidak jelas berapa jumlah santri, dan dari mana berasal, sangat mungkin dari dukuh-dukuh sekitar. Di mata para santri, mbah Sabil adalah pribadi mulia, beliau tidak membeda-bedakan santrinya, sikap lembut, sabar, ramah dan tegas adalah sikap padu dalam metodologi pendidikan & pengajaran yang diterapkan. Istiqomah dan bersahaja merupakan ciri utama kehidupan sehari-hari. Para santri merasa mendapatkan bimbingan setiap hari, siang dan malam. Ada beberapa santri kinasih mbah Sabil, diantaranya:
1) Mbah Kyai Abdurrohman Klothok. Beliau adalah cucu mbah Sabil sendiri, yang saat ini makamnya berada disebelah barat Masjid Klothok, Banjarjo, utara SPBU milik Nyonya Hj. Mu’ayanah Hakim Effendi Kuncen.
2) Mbah Kamaluddin, makamnya berada di Oro-oro Bogo (bagian dari bumi Kuncen paling selatan).
3) Mbah Mamuddin (Imamuddin).
4) Mbah Jaenuddin (Zaenuddin).
5) Mbah Moyumuddin (Muchyidin).

Ada sedikit cerita tentang salah satu santri kinasih mbah Sabil (Mbah Menak) yaitu mbah Kamaluddin. Saat itu mbah Kamaluddin menjadi Lurah Pondok di Pesantren mbah Sabil. Kegemaran beliau mencari ikan, salah satunya dengan mbesang menggunakan wuwu . Tempat yang sering digunakan mbesang oleh mbah Kamaluddin berada di Kuncen bagian timur, yang akhirnya tempat tersebut menjadi Dukuh mBasangan.
Suatu ketika beliau mengambil wuwu besangannya, ternyata bukan ikan yang didapat melainkan krèthè (anak buaya). Oleh Mbah Kamaluddin krèthè tersebut dipelihara dan ditempatkan di blumbang dekat Pondok. Tidak hanya mbah Kamaluddin yang gemar memberi makan krèthè tersebut, tapi juga santri-santri yang lain. Makanan yang sering didapat krèthè tersebut adalah sisa-sisa makanan para santri terutama intip (bagian nasi yang keras dan gosong).

Hari berganti, minggu bergulir dan bulanpun berjalan demikian pula tahun meninggalkan kita, tidak terasa krèthè yang dulunya kecil berubah menjadi buaya yang besar dan menakutkan. Singkat kata, suatu hari mbah Kamaluddin dipanggil oleh mbah Sabil : “Din....Kamaluddin....bajulmu saya suwe mundak gede lan medèni cah ngaji.” (Din....Kamaluddin....buayamu makin lama makin besar dan membuat takut para santri). Mbah Kamaluddin terdiam, tapi mengerti apa maksud kyainya. Karuan saja mendengar titah kyai yang sangat dihormati itu, beliau dan beberapa santri lainnya mempersiapkan diri untuk “membuang” buaya tersebut ke sungai Solo.
Akhirnya dengan berat hati mbah Kamaluddin memindahkan buaya dengan dibantu santri-santri yang lain, dengan cara di-bopong . Sebelum diceburkan ke sungai, buaya tersebut diberi nama oleh mbah Kamaluddin: “Destoroto”.

Alkisah menurut penuturan para sesepuh, antara lain: mbah Kyai Haji Abdurrahman Rowobayan, Mbah Rayis Kuncen, mbah Tasrip Slumbung, mbah Wardi Slumbung (Jagabaya) dan banyak lain, pernah melihat dengan peningalnya (matanya) sendiri, dikala banjir melanda Desa Kuncen, buaya tersebut nglabar/nuweni makam mbah Kamaluddin di Oro-oro Bogo. Terkadang buaya tersebut berada di sekitar makam, juga berkeliaran sekitar mBasangan dan Slumbung.

Slumbung adalah nama suatu dukuh yang terletak di sebelah barat dukuh mBasangan masih dalam kawasan Desa Kuncen, dinamakan Slumbung karena ada sawah sak kedok/satu pethak, apabila dipanen hasilnya se-lumbung atau satu lumbung . Dimana sebelum memanen padi harus dikorbankan terlebih dahulu satu ekor pedet (anak sapi) karena saking banyaknya lintah yang hidup di sawah.
 
di kutip dari :  http://menakanggrung.blogspot.com/2008/03/riwayat-menak.html