Social Icons

BERBAGAI JALUR LELUHUR DARI SUNAN KALIJAGA & PARA PEMIMPIN AWAL TUBAN


Selama ini beredar berbagai versi silsilah Sunan Kalijaga, ada yang menyambungkan beliau sebagai keturunan Jawa Asli, ada yang menyebut beliau sebagai Keturunan Nabi Muhammad & ada yang menyebut beliau sebagai Keturunan Sayyidina Abbas Paman Nabi. Maksud tulisan ini adalah sebagai "sharing" penengah dan informasi untuk memperjelas bahwasanya Sunan Kalijaga secara nasab dalam pandangan penulis memang betul keturunan Nabi Muhammad namun memang mempunyai silsilah tautan dr garis perempuan yang bersambung ke bangsawan Jawa & ke Paman Nabi Sayyidina Abbas,..

I. SILSILAH TAUTAN SUNAN KALIJAGA KE LELUHUR PARA PEMIMPIN LOKAL NUSANTARA

Ketika Penulis mempelajari data yang obyektif dalam sejarah para Bupati Tuban, dalam Babad Tuban (6). Penulis menemukan titik temu antara data silsilah Sunan Kalijaga dari berbagai versi. Penulis menyebutnya obyektif karena data tersebut sebenarnya bukanlah data subyektif silsilah Sunan Kalijaga yang versinya amat tergantung dengan keyakinan masing-masing penjaganya, bahkan data tersebut hanya menyebutkan tentang nama para bupatinya saja tanpa menyebut nama Sunan Kalijaga yang bukan merupakan bupati Tuban. Namun demikian karena sudah teramat masyhur di semua versi bahwasanya Sunan Kalijaga adalah putra kandung bupati Tuban yang bernama Wilatikta, sehingga data sejarah tersebut dapat disusun sebagai silsilah genealogis yang akan kita didapati sebagai berikut 
1.     Prabu Banjaransari
2.     Raden Arya Metahun
3.     Bupati Lumajang Tengah Raden Arya Randu Kuning./ Kyai Ageng / Kyai Gede Lebe Lontong
4.     Bupati Gumenggeng Raden Arya Bangah; Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel)
5.     Bupati Lumajang Raden Arya Dandang Miring
6.    Bupati Tuban ke-1 Raden Dandang Wacana / Kyai Gede Papringan, BERPUTRI
7.     Nyai Ageng Lanang Jaya / Nyai Lanang Baya [Istri Kyai Lanang Baya / Arya Wiraraja lihat Jalur Silsilah III, point 20]
8.     Bupati Tuban ke-2 Haryo Ronggo Lawe / Rangga Teja Laku / Syeikh Jali Al-Khalwati / Syekh Khawaji [Dimasa ini Tuban di bawah kekuasaan Majapahit]
9.     Bupati Tuban ke-3 Haryo Siro Lawe
10.   Bupati Tuban ke-4 Haryo Siro Wenang
11.   Bupati Tuban ke-5 Haryo Lana / Arya Teja I
12.  Bupati Tuban ke-6 Haryo Dikoro / Arya Teja II BERPUTRI
13.   Raden Ayu Hariyo Tejo berputra (Istri dari Bupati Tuban ke-7 Hariyo Tejo (Arya Tejo III) / Maulana Mansur, Lihat jalur Silsilah II point 22)
[Di masa ini & masa putra beliau adalah masa transisi kepenguasaan akan Tuban dari Majapahit ke Demak]
14.   Bupati Tuban ke-8 Raden Hariyo Wilatikta (Arya Tejo IV) / Raden Ahmad Sahuri berputra
15.   SUNAN KALIJAGA

Ternyata dari data tersebut di atas point 7 & 13 adalah nenek moyang dari garis perempuan Sunan Kalijaga yang datanya akibat kesubyektifitas dan atau distorsi informasi & komunikasi terbaur antara leluhur dari garis laki & perempuan dalam versi lain. Hal ini kerap terlewatkan, lantas begitu saja menghubungkan Silsilah Sunan Kalijaga ke leluhur beliau sebagai garis laki padahal ada yang berasal dari tautan perempuan dan sebaliknya. Sehingga data ini menjadi acuan penting dalam mencari titik temu tiap-tiap versi yang penulis yakini masing2 memiliki latar belakang kebenaran & latar belakang historis akan penjagaannya.

Bila kita perhatikan data di atas pada point 12-13 dari sumber (6) Babad Tuban, disebutkan bahwa Hariyo Tejo menjadi pemimpin Tuban dikarenakan menikahi putri pemimpin Tuban sebelumnya. Babad Tuban, menyebutkan pula bahwa Arya Teja bukanlah seorang pribumi jawa. Ia berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang ulama sedangkan muasal beliau disebut sebagai saudara / masih memiliki kekerabatan dengan Sunan Ampel, sehingga data ini amat pas dan menjadi titik temu dengan versi silsilah Sunan Kalijaga sebagai sayyid keluarga Azmatkhan yang bisa dilihat di Jalur Silsilah II.

Lantas bila kita perhatikan data di atas point 6,7, 8 maka akan kita dapati titik temu dengan versi Silsilah Sunan Kalijaga yang bersambung ke Sayyidina Abbas sebagaimana dapat dilihat di Jalur Silsilah III khususnya point 20 & 21. Karena nama terkait di berbagai sumber, masyhur bersambung secara nasab garis laki ke Sayyidina ABBAS.   

Sehingga dapat disimpulkan berbagai versi muasal genealogis Sunan Kalijaga baik yang dari versi keturunan local pribumi Jawa, keturunan Nabi Muhammad & keturunan Sayyidina Abbas ternyata sama2 memiliki latar belakang kebenarannya dan titik temunya masing-masing yang selama ini terbaur lantas tidak difahami tautan jalurnya. Hal ini diakibatkan kebudayaan & kebiasaan nusantara yang menisbatkan leluhur baik dari garis laki maupun perempuan lantas terbaur. Ketika ini terfahami & diletakkan pada tempatnya masing-masing, penulis malah menghargai kebiasaan penisbatan tersebut sehingga bisa mengenali leluhur dari suatu tokoh bersejarah secara objektif mana yang dari garis lakinya maupun yang dari garis perempuannya.

II. SILSILAH NASAB SUNAN KALIJAGA AZMATKHAN KE NABI MUHAMMAD
(keterangan angka dalam kurung setelah nama, menunjukkan sumber data penulisan redaksi nama, yang terdapat di bagian sumber-sumber data)

Data Pendukung bahwasanya Sunan Kalijaga sayyid keturunan Nabi adalah dari keselarasan dgn kisah Babad Tuban sebagaimana disebut di atas. Kitab Syajaroh & Tarikh Al Azamat Khan  dikutip dalam “Sejarah & Silsilah dari Nabi Muhammad SAW ke Walisongo oleh Drs. Aburumi Zainal Lc. – Habib Zainal Abidin Assegaf menuliskan secara jelas nasab beliau sebagaimana di bawah ini, begitu pula Kitab Syamsu Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur sebagai data Rabithah Alawiyyah, yang dikutip pula dalam Poster Silsilah Leluhur Alawiyyin keturunan Al Imam Husein R.A yang beredar di khalayak. 

Silsilah ini juga sesuai dengan keterangan Profesor Husaini Jayadiningrat didalam bukunya yang menceritakan bahwa dalam tradisi Cirebon terdapat Silsilah Sunan Kalijogo yang diurutkan hingga sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula keterangan Van Den Berg dan Hj de Graff, sesuai dengan kisah Tome Pires.
Sunan Kalijaga juga menikahi 4 Syarifah putri para anggota Walisongo sehingga secara fiqih mengenai pernikahan kafaah nasab pd syarifah, makin menguatkan fakta bahwasanya Sunan Kalijaga adalah Sayyid turunan Nabi Muhammad.
  1. Nabi Muhammad Rasulullah
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra
  3. Al-Husain
  4. Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad Al-Baqi
  6. Ja’far Shadiq
  7. Ali Al-Uraidhi
  8. Muhammad
  9. Isa
  10. Ahmad Al-Muhajir
  11. Ubaidillah
  12. Alwi
  13. Muhammad
  14. Alwi
  15. Ali Khali’ Qasam
  16. Muhammad Shahib Marbath
  17. Alwi Ammil Faqih
  18. Abdul Malik Azmatkhan
  19. Abdullah
  20. Ahmad Jalaluddin
  21. Ali Nuruddin (8.a,b; 10) / Syekh Ngali (6)
  22. Maulana Mansur (8.a,b; 10)/ Tumenggung Tuban (8.a,b)/ Bupati Tuban ke-7 Hariyo Tejo (1,2,3,4,5,6) / Syekh Ngabdurahman (6)
  23. Ahmad (10) Ahmad Sahuri (8.a,b) alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban ke-8) () 
  24. SUNAN KALIJAGA alias Raden Said alias Lokajaya alias Syekh Malaya alias Pangeran Tuban alias Muhammad Abdussyahid (Generasi ke-24 dari Rasul, Turunan Rasul ke-23)

III. SILSILAH TAUTAN SUNAN KALIJAGA KE SAYYIDINA ABBAS PAMAN NB MUHAMMAD 
(keterangan angka dalam kurung setelah nama, menunjukkan sumber data penulisan redaksi nama, yang terdapat di bagian sumber-sumber data)

1.       Sayyidina ABBAS r.a bin Abdul Muthalib [Paman dari Nabi Muhammad SAW] (Sumber sebagai leluhur Sunan Kalijaga 1,2,3,5)
Menurut sumber 7.b Abbas memiliki 5 orang keturunan, diantaranya adalah

a. Abdullah bin Abbas, yang kerap disebut pula Ibnu Abbas. Dia pernah menjadi gubernur di Basrah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dia meninggal dan dikuburkan di Thaif, Arab Saudi.
b. Ubaidillah bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Yaman pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Madinah.
c. Fahdl bin Abbas, dikuburkan di Syam.
d. Qutsam bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Bahrain pada masa Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Samarkand
e. Ma'bad bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Mekkah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Afrika
Silsilah Sunan Kalijaga yang bersambung ke Abbas menyebutkan melalui nama Abdullah, ada yang menuliskan dengan tambahan “Al-Baghdadi” yang bermaksud  leluhur beliau pernah di negeri Irak, secara fakta Abdullah bin Abbas adalah satu2nya Putra Abbas yang pernah menjabat sebagai Gubernur di Irak, namun lebih tepatnya di Basrah-Irak. Istilah Al-Baghdadi pada silsilah leluhur Sunan Kalijaga mengindikasikan leluhur beliau adalah keturunan dari Sayyidina Abbas yang dari jalur daerah Irak. Ada yang menduga leluhur Sunan Kalijaga adalah dari Dinasti Abbasiyah Baghdad, namun penelitian penulis dari nama-nama leluhur yang tercantum tidak mengindikasikan kepada para Sultan Dinasti Abbasiyyah Baghdad yang penulis juga pegang datanya. Data leluhur Sunan Kalijaga versi ke Sayyidina Abbas yang ada, hanya mengindikasikan leluhur beliau dari daerah Irak, tidak ada yang mengindikasikan sebagai keturunan para atau beberapa Sultan Dinasti Abbasiyyah. Lantas bila kemudian kita temukan nama leluhur Sunan Kalijaga yang tidak lazim secara bahasa Arab, itu mengindikasikan leluhur beliau ada yang pindah & berbaur ke daerah Persia yang tidak begitu jauh dari Irak, bahkan pada masa tertentu Irak adalah bagian dari Persia. (Contoh nama Kharmia / Kharmis dll adalah nama dari daerah Persia).

2.    Abdullah ibnu Abbas ra (Sepupu Nabi Muhammad & Ali bin Abi Thalib) (7.b&c)
3.    Ali bin Abdullah (7.c&d) [Satu2 nya keturunan dari Abdullah bin Abbas yang tercatat sejarah secara resmi & mayshur]
4.    Abdullah “Al-Akbar” (7.d) / Abdallah “Azhar” (2) / Abdul “Wakhid” (3) / Syekh Abdul “Wahid” Qurnqin Al Baghdadi (1)

(Istilah Al-Akbar, Azhar, & Wahid sama2 mempunyai makna yang merujuk sebagai yang paling besar, karena beliau mempunyai adik yang lebih kecil juga bernama sama yakni Abdullah dengan gelar Abdullah Al-Ashgar yang pergi ke daerah Syam 7.d)

5.     Wakhis (2) / Syekh Waqid Arumni (1)
6.     Mudzakir (2&3)/ Syekh Mudzakir Arumni (1)
7.     Abdullah (2&3)
8.     Kharmia (3) / Kharmis (2)  
9.     Mubarak (2&3)
10.   Abdullah (2&3)
11.   Ma'ruf (2) / Madhra’uf (3)
12.   Arifin (2&3)
13.   Hasanuddin (2&3)
14.   Jamal (2&3)
15.   Ahmad (2&3)
16.   Abdullah (2&3)
17.   Abbas (2&3)
18.   Kouramas (3)/ Khurames (2)/ Syekh Kharamis (1)
19.   Syekh Abdullah (1)
20.   Syekh Abdurrahman (1&2)/ Abdur Rakhim (3)/ Kyai Lanang Baya (5&6) / Arya Wiraraja (9)

[Suami dari Nyai Lanang Baya dengan jalur lihat Silsilah I Point 7]

21.   Bupati Tuban ke-2 Haryo Ronggo Lawe (4,5,6)/ Rangga Teja Laku (1,2,3) / Syeikh Jali Al-Khalwati (1&5)/ Syekh Khawaji (1)

[Sumber 4&6 tidak membahas silsilah beliau ke atas, sebagaimana ditulis diatas, namun hampir semua sumber silsilah Kalijaga yang terkait, baik ke data leluhur local maupun ke leluhur zuriyyat bani Abbas memiliki titik temu pada nama terakhir diatas. Sumber 5&6 menyebut beliau sebagai cucu dari garis ibu beliau ke penguasa lokal Tuban sebelumnya yakni Raden Dandang Wacana / Kyai Gede Papringan.  Semua sumber lain yang terkait, masyhur mengenal beliau sebagai keturunan arab melalui Sayyidina Abbas yang bekerja di bawah pemerintahan Majapahit dengan silsilah secara garis besar sebagaimana tersebut di atas]

[Pada masa ini Tuban memang berada di bawah kekuasaan Majapahit]

22.   Bupati Tuban ke-3 Haryo Siro Lawe (5&6)
23.   Bupati Tuban ke-4 Haryo Siro Wenang (5&6)
24.   Bupati Tuban ke-5 Haryo Lana (5&6)/Arya Teja I (1&4)
25.   Bupati Tuban ke-6 Haryo Dikoro (5&6)/ Arya Teja II (1&4) BERPUTRI *(6)

[Putri beliau sebagai istri dari penguasa Tuban selanjutnya yang dari Arab secara objektif dapat kita temukan pada sumber no.6 pada Babad Tuban yang menjelaskan tentang sejarah para Bupati Tuban]

26.   Raden Ayu Haryo Tejo [Istri dari Bupati Tuban ke-7 Haryo Tejo Kusumo (1,2,4,5,6) / Arya Teja III (4)/

[Pada masa ini & masa putra beliau adalah masa transisi kepenguasaan akan Tuban dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak]

27.   Bupati Tuban ke-8 Tumenggung Wilatikta
28.   SUNAN KALIJAGA / Raden Said / Jaka Said / Syekh Malaya / Lokajaya / Raden Abdurraman / Pangeran Tuban / Muhammad Abdussyahid

Sebagai perbandingan Sunan Kalijaga disini sebagai turunan sepupu nabi Abdullah bin Abbas ke 26 generasi ke 27 sedangkan dari Nabi Muhammad turunan ke 23 generasi ke 24.. Hal ini masih masuk akal secara karena diantara sesame turunan nabi lazim ditemukan sejamannya generasi ke 38 dgn yg ke 42.

Alasan-alasan Silsilah ke atas Sunan Kalijaga ke Rasul di kalangan keluarga besar keturunannya kurang dikenal  adalah karena :
  1. dikarenakan kerabat keluarga besar beliau amat jarang mengedepankan nasab, demi dakwah membaur & merakyat, sehingga sebagian besar keturunan kehilangan data silsilah ke atas beliau yang bersambung ke Nabi Muhammad, apalagi Sunan Kalijaga merupakan anggota Walisongo yang paling membaur dengan rakyat kebanyakan, termasuk dalam budayanya.
  2. Selain itu kerabat keluarga besar beliau di daerah asal beliau Tuban, para penguasa Tuban selepas ayahnya adalah dzuriyyat keturunan Haryo Dikoro yang bukan merupakan itrah keturunan Nabi Muhammad. Sehingga jalur silsilah leluhur para pemimpin Tuban ke Abbas atau ke leluhur lokal Jawa mereka lebih dikenal, lantas silsilah nasab keturunan Sunan Kalijaga terbaur dengan silsilah nasab keluarga besar mereka di Tuban, dikarenakan pula pembauran dengan budaya Jawa yang menyambungkan keturunan baik dari garis laki & perempuan sehingga datanya terbaur
  3. Kemungkinan lain akibat pengaruh penjajah pula sehingga silsilah Sunan Kalijaga ke Rasul amat jarang dikenal oleh keluarga keturunannya kecuali oleh sedikit yang terpercaya kredibilitasnya dalam kepedulian akan pelestarian data nasab keluarga ini serta telah banyak berkorban, sehingga Habaib ahli nasab yang meneliti & mempelajari secara hati-hati Silsilah Walisongo ke Rasul turut pula yakin menyertakan Sunan Kalijaga & putra beliau Sunan Muria sebagai Sayyid keturunan Nabi Muhammad, bagian dari Keluarga Besar garis laki Azmatkhan Ba’alawy Al-Husaini.
  4. Ada yang meyakini Sunan Kalijaga bukan keturunan langsung Nabi akibat kisah subjektif daerah tertentu yang mengisahkan Sunan Kalijaga tidak dapat bertahan sebagai Wali Qutub sebagaimana gurunya akibat bukan keturunan langsung Nabi. Menurut pendapat penulis setiap kisah tentang posisi maqam spiritual anggota walisongo tertentu yang lebih tinggi dari yang lain lantas berbeda-beda di tiap daerah & tiap keturunannya, merupakan hal yang dekat dengan peranan pengaruh penjajah dalam memecah belah dzuriyyat keluarga besar keturunan  Walisongo. Al-Quran saja di ayat terakhir ke-2 Surat Al-Baqarah melarang kita untuk membeda-bedakan nabi-Nya, begitu pula seharusnya terhadap Wali-Nya.   

IV. PARA BUPATI TUBAN SELEPAS WILATIKTA YANG MERUPAKAN DZURIYYAT AHLUL BAYT ITRAH SAYYIDINA ABBAS RA

(Pergantian kepemimpinan selain antara ayah ke anak juga antara mertua ke menantu, kakak ke adik serta paman ke keponakan)
  • Bupati Tuban ke-9 Kyai Ageng Ngraseh BIN Bupati Tuban ke-6 Haryo Dikoro (Adik Ipar Bupati Tuban ke-7, Paman jalur ibu sekaligus menantu dari Bupati Tuban sebelumnya / Bupati ke-8 Tumenggung Wilatika)
  • Bupati Tuban ke-10 Kyai Ageng Gegilang BIN Bupati Tuban ke-9
  • Bupati Tuban ke-11 Kyai Ageng Batabang BIN Bupati Tuban ke-10
  • Bupati Tuban ke-12 Raden Hariyo Balewot BIN Bupati Tuban ke-11; mempunyai 2 orang putra yakni Pangeran Sekartanjung (Bupati Tuban ke-13) dan Pangeran Ngangsar (Bupati Tuban ke-14)
  • Bupati Tuban ke-13 Pangeran Sekartanjung BIN Bupati Tuban ke-12 [mempunyai putra 2 orang yaitu Pangeran Hariyo Permalat (Bupati Tuban ke-15) dan Hariyo Salampe (Bupati Tuban ke-16)
  • Bupati Tuban ke-14  Pangeran Ngangsar BIN Bupati Tuban ke-12 (adik dari Bupati sebelumnya)
  • Bupati Tuban ke-15 Pangeran Hariyo Permalat BIN Bupati Tuban ke-13 (keponakan dari Bupati sebelumnya); menikahi putri Sultan Pajang Jaka Tingkir berputra Pangeran Dalem (Bupati Tuban ke-17)
[Pada masa ini Tuban berada di bawah kekuasaan kerajaan Pajang, karena Kerajaan Pajang tidak bertahan lama, lantas penguasaan akan daerah Jawa secara umum dan Tuban secara khusus, digantikan oleh Kerajaan Mataram]
  • Bupati Tuban ke-16 Hariyo Salampe BIN Bupati Tuban ke-13 (adik dari Bupati sebelumnya)
  • Bupati Tuban ke-17 Pangeran Dalem BIN Bupati Tuban ke-15 (keponakan dari Bupati sebelumnya)
[Pada masa ini Tuban melakukan perlawanan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram]

Tahun 1619 Pangeran Dalem kalah dalam perlawanan beliau melawan Pasukan Mataram di bawah pimpinan Pangeran Pojok (lantas menjadi Bupati Tuban ke-18) dari Mataram pada masa kekuasaan Sultan Agung Mataram.  Pangeran Dalem lantas melarikan diri ke Pulau Bawean. Tetapi di Pulau Bawean beliau tidak lama tinggal, kemudian pergi ke Desa Rajekwesi (Bojonegoro sekarang). Pada waktu itu Rajekwesi masih merupakan hutan dan di bawah pemerintahan Jipang Panolan. Setelah menetap 5 tahun lamanya di Rajekwesi, Pangeran Dalem mangkat dan dimakamkan di Desa Kadipaten terletak di sebelah timur Kota Bojonegoro. Hingga kini makam tersebut masih ada, terkenal dengan nama makam Buyut Dalem. (Dengan sebutan “buyut” besar kemungkinan beliau meninggalkan keturunan yang masytur)

Selepas Bupati Tuban ke-17, Tuban tidak lagi dipimpin oleh Trah keturunan dari leluhur pemuka Tuban di atas, namun oleh para pemimpin yang ditunjuk Penguasa yang memiliki otoritas akan Tuban. Seandainya pun memiliki kekerabatan dengan keluarga ini setidaknya hubungan tersebut belum dikenal.

V. MENGENAI LEMBU SURO – [HUBUNGAN KEKERABATAN ANTARA PEMIMPIN TUBAN - RAJA SURABAYA - RAJA MAJAPAHIT & KELUARGA SUNAN AMPEL]

Terdapat versi yang menyebutkan diantara leluhur Sunan Kalijaga ke para pemimpin Tuban diantaranya terdapat yang menjadi Pemimpin Surabaya di masa lalu, yakni Lembu Suro (ada yang menyebut beliau sebagai Gubernur ada yang menyebut beliau sebagai RAJA), Hal ini merupakan pembauran data. Berdasarkan Data dari (5)poster silsilah Rabitah Azmatkhan yang disusun dari berbagai sumber, ternyata Lembu Suro adalah Ayah mertua dari Haryo Tejo (kakek Sunan Kalijaga) dari istri lain beliau.

Jadi Haryo Tejo tercatat memiliki 2 istri yakni :
1. Putri Bupati Tuban (binti Haryo Dikoro)
2. Putri Raja Surabaya (binti Haryo Lembu Suro).

Kedua istri beliau tersebut ternyata diketahui sama-sama berjalur keturunan dari Ronggo Lawe alias Teja Laku alias Syeikh Jali Khalwati keturunan Sayyidina Abbas. Namun karena berbeda ibu, Tumenggung Wilatikta & putra beliau Sunan Kalijaga sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengan Lembu Suro, namun diakibatkan Lembu Suro dikenal di beberapa masyarakat umum sebagai ayah dari Haryo Tejo, (padahal ayah mertua dr istri lain beliau) sehingga nama beliau di sebagian versi terbaur dalam data silsilah Sunan Kalijaga.    

Putri dari Lembu Suro hasil dari pernikahannya dengan Putri dari Prabu Brawijaya III Majapahit ; dinikahi oleh Haryo Tejo Bupati Tuban ke-7 lantas menghasilkan seorang Putri (saudari lain ibu dari wilatikta) bernama Dewi Condrowati yang lantas dinikahi Sunan Ampel dan menghasilkan beberapa keturunan antara lain Sunan Bonang, Sunan Drajat dll. Dari sini menjadi jelas beberapa keturunan Sunan Ampel (beliau juga punya beberapa istri lainnya) memiliki tautan darah dari garis perempuan ke Sayyidina Abbas pula, namun bukan melalui para Bupati Tuban di atas Haryo Tejo seperti yang diduga sebelumnya namun melalui jalur Lembu Suro Raja Surabaya yang juga keturunan Sayyidina Abbas.

VI. SUMBER-SUMBER DATA :

1.       Silsilah Sunan Kalijaga keluaran Yayasan Sunan Kalijaga Kadilangu Demak anggota dari Perhimpunan Pemangku Makam Auliya’ se-Jawa (PPMA), tanpa mengurangi rasa hormat silsilah versi ini belum lengkap, namun amat berharga sebagai acuan dasar jalur leluhur Al-Abbas ke Sunan Kalijaga dan para Bupati Tuban pada masa-masa awal.

2.       Silsilah Sunan Kalijaga jalur Arab versi Al-Abbas yg tertulis di buku Asal-Usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, Dsb. Di Indonesia karya Prof. H.S. Tharick Chehab

3.       Silsilah Sunan Kalijaga jalur Arab versi Al-Abbas yang tertulis di “De Handramaut et les Colonies Arabes dan’l Archipel Indian” Karya Mr. C.L.N. Van den Berg, yang dikutip Umar Hasyim, dalam Sunan Kalijaga, Penerbit Menara, Kudus, 1974, hlm. 4

4.       Silsilah Sunan Kalijaga sbg turunan Jawa yg bersumber dr keturunannya sendiri yg tertulis dalam : Sunan Kalijaga, Penerbit Menara, Kudus, 1974, hlm. 5 karya Umar Hasyim
Hanya tertulis jalurnya (belum dilengkapi ke atasnya) : adipati Ronggolawe (Bupati Tuban) -> Aria Teja I (bupati Tuban) -> Aria Teja II (Bupati Tuban) -> Aria Teja III (Bupati Tuban) -> Raden Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) -> Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

5.       Poster Silsilah Nasab Rabithah Azmatkhan / IKAZHI

6.       Sejarah para Adipati Tuban dari BABAD TUBAN disarikan pernah dimuat di :

7.       Wikipedia mengenai Bani Abbas dan keturunannya :

8.      Silsilah Sunan Kalijaga yang bernasab ke Rasulullah, bersumber pada:
a.       Kitab Syajaroh & Tarikh Al Azamat Khan  dikutip dalam “Sejarah  & Silsilah dari Nabi Muhammad SAW ke Walisongo oleh Drs. Aburumi Zainal Lc. – Habib Zainal Abidin Assegaf sebagai data Naqobatul Asyrof
b.      Kitab Syamsu Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur sebagai data Rabithah Alawiyyah

9.      Info Sejarah Ronggolawe http://id.wikipedia.org/wiki/Ranggalawe

10.    Poster Silsilah Leluhur Alawiyyin keturunan Al Imam Husein R.A .


HUKUM NGALAP BERKAH AIR PATHOK SYEH AHMAD MUTAMAKKIN

Artikel ini sengaja saya minta dari temennya Saudara Hanik Mujahidin untuk saya posting di blog Cinta Pustaka Islam. Tujuannya sebagai bahan bacaan bagi pembaca setia Cinta Pustaka Islam. Dan mengenai Refferensi dari apdate FB beliau Ustadz Ahmad Sabiqul Himam.
Sebelum kita membahas hukumnya, alangkah baiknya kita mengenal sosok waliyullah Syeikh Ahmad Mutamakkin terlebih dahulu.


Siapakah Syeikh Ahmad Mutamakkin itu ?

Setiap 10 Muharam di desa kecil di pantai utara Jawa Desa Kajen, Pati, lautan manusia berdatangan memperingati haul KH Ahmad Mutamakkin . Sosok kiai yang lahir di Tuban ini lebih memilih Kajen, sebuah desa kecil di pantai utara Jawa, untuk menyebarkan agama Islamnya.

Beliau adalah seorang neosufis yang hidup pada tahun 1645 - 1740. Satu garis dengan cerita Jawa pada awal perkembangan Islam, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung, dan Among Raja. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang kemudian dieksekusi yang berkuasa. Bahkan, ada yang dikisahkan dibakar hidup-hidup.

Barangkali gema dari cerita yang lebih masyhur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah adalah cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat pada tahun 922.

Nama “Mutamakkin” yang bermakna orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon adalah gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari Timur Tengah.

Garis keturunan Mbah Mutamakkin dari bapak adalah Sultan Trenggono (Raja Demak III tahun 1521-1546) yang bertemu dengan pada silsilah Raden Fatah (Pendiri Kerajaan Demak 1478-1518). Dari Ibu, keturunan Sayid Ali Bejagung, Tuban Jatim. Sayid Ali ini mempunyai putera bernama Raden Tanu, Tanu ini mempunyai seorang puteri, yakni ibu Mbah Mutamakkin.

“Sumohadiwijaya” adalah nama ningrat Mbah Mutamakkin. Putera Pangeran Benawa II (Raden Sumohaidnegara) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya. Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Fatah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah.

Konon, sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak langsung pulang melainkan pergi ke daerah utara Pati. Beliau tinggal di Cebolek di sebelah utara desa Kajen.

Terdapat pula cerita yang berkembang di masyarakat setempat (foklor) menyebutkan, sepulangnya dari menunaikan Ibadah haji, beliau menaiki jin. Tiba-tiba di tengah laut, oleh jinnya, beliau dijatuhkan di tengah laut. Kemudian beliau diselamatkan “Ikan Mladang”. Beliau dilemparkan sampai di suatu tempat. Tempat tersebut dinamai Desa Cebolek.

Ada dua versi tentang asal usul desa ini. Pertama adalah dari kata “ceblok” (jatuh), dan kedua “Jebol-jebul melek” (tiba-tiba membuka mata). Di Cebolek, Pati, beliau tinggal.

Suatu malam, Mbah Mutamakkin melihat sinar yang terang di langit. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana asal sinar tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah sinar K.H Syamsuddin, pemangku Desa Kajen yang sedang melaksanakan shalat tahajjud. Tidak banyak cerita yang berkembang, kemudian Mbah Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.

Mbah Mutamakkin memiliki putra yaitu Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Di negeri orang tersebut, Kiai Bagus memiliki keturunann antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), dan K.H Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sedangkan Alfiyah dan Endro tetap tinggal di kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Ponpes Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah Pospes tertua di Desa Kajen.

Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).

Sekitar tahun 1910, K.H Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Popes Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).

Syeikh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati.

Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri – negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.

Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.

Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru. Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.

Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di maja makan hanya ia pandangi saja.

Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing. Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda mahluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.

Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yang kebetulan saat itu Syeh Ahmad Mutamakin mendapat satu makanan yang hanya berisikan ikan asin kering. Kemudian tamu itu diajak makan bersama, namun si Tamu melahap habis nasi sama ikan kering tersebut. Tamu tersebut marah dan mau naik pitam ketika Syeh Ahmad Mutamakin bilang bahwa anjing mereka saja tidak suka sama Ikan kering. Hal tersebut sangat menghinanya, maka dia menyebarkan isyu kepada para ulama-ulama se jawa.

Selebaran-selebaran tersebut mengatakan bahwa Syeh Ahmad Mutamakin sebagai seorang Muslim senjati telah memelihara anjing dan memeberi nama anjing tersebut dengan nama orang seperti Qomarudin dan Abdul Qohar, selain itu Beliau gemar melihat dan mendengarkan wayang dengan cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.

Pihak keraton mendengar berita tersebut, sehingga ia mengutus seorang ulama bernama Ki Kedung Gede untuk menguji kebenaran tersebut sebelum Keraton memanggil dengan surat teguran atau panggilan dari pihak keraton. Syeh Ahmad Muthamakin tahu maksud hati dari tamu tersebut. Sehingga Syeh Ahmad Mutamakin bahwa beliau belum tahu huruf alif sekalipun, Ki Kedung Gede semakin Gusar, karena maksud yang ada dalam pikirannya telah tertebak dengan benar oleh Syeh Ahmad Mutamakin.

Selebaran yang telah beredar di seluruh ulama Jawa, ulama-ulama tersebut mendesak kepada pihak keraton. untuk mengadakan sidang pengadilan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin yang telah keliru dalam pemahaman terhadap Agama Islam. Mereka kuatir bila hal ini tidak diatasi akan berdapak buruk pada penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.

Persidangan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin dihadiri oleh ulama seluruh jawa. Seperti Khotib Anom dari Kudus, Ki Witono dari Surabaya, Ki Busu dari Gresik. Dan ulama-ulama lainnya. Mereka sepakat menyidangkan Syeh Ahmad Mutamakin pada persidangan kartosuro. Selanjutnya tuntutan terhadap beliau dibacakan oleh Patih Danurejo, setelah mereka membacakan tuntutan-tuntutan tersebut. Patih menyuruh anak buahnya segera mengutus dua orang sebagai duta tugas kepada Syeh Ahmad Mutamakin.

Undangan yang hadir banyak sekali merka ingin menyaksikan Sidang Pengadilan Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut terjadi dua kelompok yang satu membela mati-matian Syeh Ahmad Mutamakin sedangkan kelompok yang satu menentang keras apa yang pernah dilakukan oleh Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut yang paling menonjol dalam adu argumentasi adalah Khotib Anom Kudus, Patih Danurejo, dan utusan Demang Irawan yang merupakan utusan yang ditugaskan oleh Raja untuk mengawasi persidangan Syeh Ahmad Mutamakin.

Persidangan menjadi alot, karena pihak penuntut menghendaki Syeh Ahmad Mutamakin dihukum pancung, karena telah melanggar syareat Agama, sedangkan kelompok yang satu membela matia-matian Syeh Ahmad Mutamakin. Akhirnya sidang ditunda sampai besuk. Karena bukti-bukti yang mengarah untuk dijadikan bukti untuk memvonis belum ada.

Raja Kartosuro memanggil Demang Irawan untuk mengetahui hasilnya dan kondisi terakhir persidangan tersebut. Atas saran Demang Irawan, Raja ingin memanggil Syeh Ahmad Mutamakin langsung empat mata. Raja bermimpi tentang sebidang petak sawah yang sebagian ditanami, sebagian menguning, sebagian Ketam. Mimpi tersebut selalu menghantui pikirannya, akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin disuruh menafsirkan mimpi sang Raja. Syeh Ahmad Mutamakin menafsirkan mimpi Raja, bahwa Syeh Ahmad Mutamakin dapat bebas dari tuntutan pengadilan.

Setelah peristiwa tersebut, paduka Raja memrintahkan kepada Patih Danurejo untuk segera membebaskan Syeh Ahmad Mutamakin. Namun hal ini masih ada ulama seperti Khotib Anom yang masih keberatan akan keputusan raja tentang vonis bebas Syeh Ahmad Mutamakin. Mereka berhadapan dengan ulama uang membela Syeh Ahmad Mutamakin seperti Ki Kedung Gede.

Akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin dan Khotib Anom dipanggil menghadap keraton. Tentang perbedaan pendapat yang tidak ada habis-habisnya. Dan diadakan tafsir Serat Dewa Ruci dan Bimo Suci diantara keduanya. Syeh Ahmad Mutamakin menerjemahkan serat tersebut dan mempraktekaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Khotib Anom kesulitan dalam memaknai atau tafsir mimpi Dewa Ruci/Bima Suci. Akhirnya Khotib Anom mengakui kepandaian, dan kearifan Syeh Ahmad Mutamakin.

Syeh Ahmad Mutamakin berhasil lolos dari hukuman pancung. Bahkan beliau mendapat bumi perdikan kajen. Yaitu daerah yang bebas pajak negara. Beliau diberikan kebebasan dalam menyebarkan Agama yang harus sesuai dengan kridor Islam. Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syeh Ronggo Kusumo,Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.

Peninggalan Arkeologis

Pesarean (makam) Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati.
Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Masjid Kajen, orang setempat menyebutnya. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.

Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “saka nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh.

Seperti umumnya masjid jami’, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornament yang tinggi seninya. Banyak penafsiran tentang ornament tersebut. Misalnya bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya: semangat dan do’a akan snggup untuk menggapai cita-cita yang mulia.

Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka).

Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.

Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 Ponpes yang berdiri di Desa Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai lembaga pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, namun tidak lupa kitab kuning juga diajarkan di sekolah tersebut. 

Apa Sich Air Patok (batu nisan) Mbah Mutamakkin ?


Mungkin bagi yang pertama kali denger istilah diatas akan menganggap air tersebut keluar dari sela-sela patok atau nisan. Padahal, sebenarnya air tersebut diambil dari air yang ada dalam bak kamar mandi yang biasa dipakai zairin untuk qadlaul hajat. Cuma yang membedakannya, kalau sudah menjadi air patok maka nilainya sudah jauh tinggi. Karena air tersebut sudah bersentuhan dengan patoknya orang sholih, lebih -lebih seorang waliyullah.

Jadi awalnya, air disiramkan ke sorban terlebih dahulu, kemudian sorban tersebut diusap - usapkan ke patok dan sekitarnya. Setelah itu, sorban diperas dan airnya ditampung di ember. Dari ember itulah kemudian air perasan tersebut di pindah ke botol, jerigen, plastik.

Masyarakat meyakini bahwa air tersebut mengandung keberkahan dari Allah yang maha kuasa yang dapat dijadikan obat mujarab, karena bekas atau atsar orang sholih. Pastinya mereka beri'tikad bahwa manfaat dan mudlarat datangnya hanya dari Allah semata, bukan dari makhluk. Atsar orang sholih hanya sebagai sebab yang diberikan Allah.

Orang yang belum mengerti hakikat dan karakteristik air sering mengira bahwa pengobatan alternative dengan cara meminum air yang telah diberi doa sebelumnya, merupakan suatu cara yang tidak ilmiah. Karena itu maka "layak" disebut sebagai cara yang tidak rasional. Namun, seorang peneliti Jepang terkenal, Dr. Masaru Emoto berhasil membuktikan bahwa air sanggup membawa pesan atau informasi dari apa yang diberikan kepadanya. Bahkan air yang diberi respon positif, termasuk doa, akan menghasilkan bentuk kristal heksagonal yang indah.

Hasil penelitian Masaru Emoto yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "The True Power Of Water" [Hikmah Air dalam Olahjiwa], (MQS Publishing, 2006), merupakan pengalaman menakjubkan karena membuktikan bahwa air ternyata “hidup” dan dapat merespon apa yang disampaikan manusia.

Mungkin pula ada sebagian kecil orang islam yang gegabah menganggap hal tersebut mengandung kesyirikan yang tidak punya dasar dalil agamanya. tapi benarkah tuduhan tersebut ?

Mari kita simak dalil - dalil dibawah ini !!!

1. Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau.

Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).

Dalil diatas akan bolehnya membawa tanah makam untuk tabaruk

2. Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha :



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.



“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR Bukhari dan Muslim

Hadis diatas menunjukkan bertabaruk dengan tanah kuburan para auliya dan orang shaleh.

3. Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu



عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ. (َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).



“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”

Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. 

4. Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.



عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).



5. Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:



عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.



“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)

6. Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:



قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ: كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.



“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292)

7. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:



سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ



“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (2/492).

Refferensi : FB : Ahmad Sabiqul Himam

DIAMBIL DARI : http://www.cintapustakaislam.web.id/2015/03/hukum-ngalap-berkah-air-pathok-syekh.html

Riwayat Syekh Mutamakkin

Syekh Mutamakkin adalah ulama kontroversial zaman Mataram Kartosuro, abad ke-18. Sejarah menempatkannya sebagai seorang tokoh "sempalan", sejajar dengan Syekh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Syekh Amongraga. Bedanya, "vonis sesat" bagi Mutamakkin tak berakhir maut. Berbeda dengan tiga pendahulunya: Syekh Siti Jenar divonis mati dengan sebilah pedang semasa Wali Songo. Lalu, Sultan Panggung dibakar di era Demak. Adapun Syekh Amongraga ditenggelamkan ke laut pada masa Sultan Agung.
Menurut Gus Dur, Mutamakkin tak dihukum mati karena tidak konfrontatif, walau pahamnya berseberangan dengan keraton. Dia lebih memilih hubungan yang harmonis. "Mbah Mutamakkin memakai pendekatan kultural, bukan pendekatan politik," kata Gus Dur dalam sebuah diskusi.
Syekh Mutamakkin diyakini berdarah biru. Ia dipercaya sebagai keturunan Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir. Ia terlahir dengan nama ningrat Sumahadiwijaya. Tanggal kelahirannya tak diketahui pasti. Diperkirakan tahun 1645, dan meninggal 90 tahun kemudian.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Sumohadinegoro alias Pangeran Benawa II , raja terakhir Pajang. Sedangkan ibunya putri Raden Tanu. Pangeran Benawa II adalah putra Sumahadiningrat alias Pangeran Benawa I, anak Joko Tingkir alias Mas Karebet alias Sultan Hadiwijaya.
Joko Tingkir adalah putra Kiai Ageng Pengging atau Kiai Kebo Kenongo atau Kiai Handayaningrat atau Kiai Ageng Butuh, yang makamnya terletak di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen, Jawa Tengah. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono, putra Raja Demak, Raden Fatah. Adapun ibu Syekh Mutamakkin adalah anak Raden Tanu putra Sayid Ali Asghor, trah Sunan Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Syekh Mutamakkin juga disebut-sebut punya garis keturunan langsung dengan Nabi Muhamad SAW.
Pangeran Benawa II, ayah Syekh Mutamakkin, minta suaka ke Giri setelah Pajang diserang Mataram. Tak lama, karena Giri pun akhirnya ditaklukkan Sultan Agung. Pangeran Benawa II kemudian menyingkir ke Desa Cebolek --sekitar 10 kilometer dari Tuban. Di tempat inilah Syekh Mutamakkin dilahirkan sehingga dijuluki Mbah Mbolek.
Nama Al-Mutamakkin didapatkan sepulang berguru dari Timur Tengah. Secara harfiah, dalam bahasa Arab, al-mutamakkin berarti orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini kesuciannya. Tak jelas tahun berapa ia mulai menapakkan kaki di Kajen. Diperkirakan, setelah naik haji, dia tak langsung ke Tuban, melainkan ke sebuah desa di Pati bagian utara. Kini, tempat itu pun dikenal dengan sebutan Desa Cebolek. Masyarakat di situ percaya, nama itu diberikan Syekh Mutamakkin sendiri ketika dia tiba-tiba terjaga, atau cebul-cebul melek, di atas seekor ikan mladang.
Sebuah versi menyebutkan, Syekh Mutamakkin dari Mekkah diantar muridnya bangsa jin, yang kemudian menitipkan ke ikan tersebut. Masyarakat Kajen sampai kini pantang memakannya. Kabarnya, jika dilanggar, gatal-gatal bakal menyerang seluruh tubuh.
Setelah beberapa lama menetap di Desa Cebolek, menjelang salat isya, Syekh Mutamakkin melihat isyarat sinar terang seperti bintang jatuh. Dia pun menuju sumber cahaya yang ternyata berasal dari Desa Kajen tersebut. Di sana dia bertemu Haji Samsudin, yang diyakini sebagai empu atau kiai Desa Kajen.
Kedua tokoh ini pun bertukar ilmu agama. Haji Samsudin mengakui keunggulan ilmu syariat Mutamakkin. Dia kemudian menyerahkan anak pertamanya, Nyai Qadimah, untuk diperistri Mutamakkin. Haji Samsudin juga menyerahkan Desa Kajen kepada Syekh Mutamakkin.
Yang paling gelap menggambarkan sosok Mutamakkin adalah Serat Cebolek, yang ditulis R. Ng. Yasadipura I (1729-1983). Dia dianggap sesat, karena mengajarkan tasawuf kepada masyarakat awam, yang ketika itu dilarang. Dakwah yang disampaikan Mutamakkin dianggap tak sejalan dengan syariah.
Murid Syekh Zeyn --tokoh Naqsyabandi asal Yaman-- itu dianggap ingkar sunah, karena mengajarkan mistisisme lewat kisah jagat perkeliran Serat Dewaruci. Cerita ini merupakan indigeous local anonim dan diadaptasi dari babon cerita Mahabharata. Isinya, pedoman kesempurnaan hidup, yang dipaparkan lewat dialog Bima dan Dewaruci. Lakon ini dikenal sejak zaman Wali Songo.
Mutamakkin juga dianggap kelewatan karena menamakan anjing-anjingnya dengan nama persis penghulu kerajaan: Abdul Kahar dan Qomaruddin. Dalam Serat Cebolek, sosok Mutamakkin benar-banar dikerdilkan. "Jika dia tidak pernah ke Mekkah, dia lebih cocok sebagai penjual jerami atau pengadu," kata Demang Urawan, Bupati Jero yang diperintahkan Raja Pakubuwana II untuk menyeleksi dewan ulama yang mengadili Mutamakkin.
Dewan itu beranggotakan 11 orang. Sembilan di antaranya merekomendasikan kepada raja agar Mutamakkin dibakar di atas pematang kayu. Raja tak setuju. Dia beranggapan bahwa mistisisme Mutamakkin hanya untuk dirinya sendiri. Dia minta Mutamakkin diampuni dengan syarat tak akan mengulangi lagi. Praktis, pengadilan itu berlangsung searah: sama sekali tak ada pembelaan dari Syekh Mutamakkin.
Ketika ditantang Kiai Anom Kudus, yang memimpin dewan ulama, untuk memberikan tafsir Serat Dewaruci, Mutamakkin disebut-sebut hanya bungkam. Kiai Anom Kudus malah sempat menyindir Mutamakkin untuk pergi lagi ke Arab, belajar kitab. Dalam Serat Cebolek, Kiai Anom Kudus dilukiskan sangat cemerlang. Serat Dewaruci dipaparkan dengan sangat gamblang dan terang.
Versi Serat Cebolek itu "diputihkan" Teks Kajen. Yang kedua ini berasal dari cerita lisan yang ditururkan secara turun-temurun dan dibukukan pada 1972 oleh seorang pengikutnya. Soal memelihara anjing, Teks Kajen, seperti juga masyarakat Kajen, punya tafsir lain. "Jangan diartikan secara mentah," kata Kiai Sahal Mahfudz, seorang keturunan Syekh Mutamakkin yang kini menjabat Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Diyakini bahwa binatang itu adalah jelmaan hawa nafsu Syekh Mutamakkin. Diceritakan, selain tekun mendalami ilmu agama, Mutamakkin sering menjalani riyadloh, dengan mengurangi makan, minum, dan tak tidur berhari-hari. Penjelmaan hewan ini terjadi ketika Mutamakkin berpuasa 40 hari. Menjelang berbuka, istrinya, Siti Zulaiqoh, disuruh memasak makanan yang lezat. Untuk mengekang nafsu makan, ia mengikatkan kedua tangannya dengan tali pada tiang rumah menjelang berbuka puasa. Nah, saat itulah nafsu Syekh Mutamakkin berubah menjadi dua ekor hewan yang segera melahap hidangan sampai tandas. Ketika hewan itu ingin masuk kembali, Mutamakkin menolaknya.
Satu versi menyebutkan, kedua hewan itu berupa seekor anjing dan singa. Yang lain menyebutkan, kedua-duanya anjing. Kedua hewan itu diberi nama mirip dengan penghulu dan katib di Tuban, Abdul Qahar dan Qumaruddin. Kedua binatang itulah yang selalu mengikutinya ke mana pun Mutamakkin pergi.
Suatu hari, Mutamakkin kedatangan seorang tamu. Ia menjamu makan dengan lauk ikan kering dari berkat yang dia dapat. Eh, si tamu melahap habis hidangan itu. Durinya pun tak bersisa. Saat itu, Syekh Mutamakkin mengatakan bahwa anjingnya saja tak pernah makan nasi dan ikan hingga ludes sampai duri-durinya. Seketika itu juga, tamunya pergi dan marah-marah.
Nah, sejak saat itulah, isu miring tentang kiai pemelihara anjing ini mulai menyebar ke masyarakat. Penyebarnya tak lain tamunya yang rakus tadi. Mutamakkin juga dituduh menyebarkan ajaran sesat, karena senang membolak-balik lakon Dewaruci.
Cerita miring itu akhirnya sampai ke penguasa Keraton Kartosuro, yang ketika itu dipegang Susuhunan Amangkurat IV (1725-1726), yang kemudian diteruskan Pakubuwono II. Syekh Mutamakkin lalu disidangkan di Mahkamah Keraton Kartosuro di depan para kiai yang sudah mendapat mandat dari raja, seperti Kiai Anom dari Kudus, Kiai Winata dari Surabaya, dan Kiai Busu dari Gresik.
Berbeda dengan yang ditulis dalam Serat Cebolek, dalam Teks Kajen Syekh Mutamakkin dilukiskan sangat pandai beragumentasi tentang konsep akidah dan syariah. Bahkan para kiai yang sulit memaknai cerita Bima Suci ketika menghadap Dewaruci dijelaskan secara gamblang oleh Syekh Mutamakkin. Sebab, lakon itu mirip ajarannya --Bima mencari ilmu sejati, yang tak lain adalah ilmu tasawuf.
Para kiai pun terpecah dua. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya. Akhirnya Raden Demang Urawan menjelaskan kontroversi itu kepada raja. Syekh Mutamakkin pun dipanggil. Semula Mutamakkin enggan memberikan penjelasan. Tapi, setelah raja bersedia dibaiat jadi muridnya, dia menguraikan segalanya.
Raja merasa puas. Mutamakkin pun dibebaskan dari hukuman bakar yang ketika itu sudah dipersiapkan. "Apabila aku tidak belajar pada Mutamakkin, niscaya aku akan mati kafir," kata Pakubuwono II ketika itu.
Teks Kajen jelas sangat bertolak belakang dengan Serat Cebolek, yang menggambarkan Mutamakkin di-KO Ki Anom Kudus saat berdialog tentang hikmah Serat Dewaruci. Mana yang benar? Zainul Milal Bizawie menyebutkan, keduanya punya cacat mendasar yang membuatnya tak bisa diterima sebagai rujukan sejarah. Ia meragukan orisinalitas dan otentitasnya. Saat Serat Cebolek terwujud, Yasadipura sebagai pengarang masih balita sehingga tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mengacu pada penelitian Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar studi Asia University of Melbourne, Australia, menurut Zainul, pengarang yang sebenarnya adalah Ratu Pakubuwono I. Jika Yasadipura I dicatat sebagai pengarang, itu berarti telah terjadi penuturan ulang sehingga terjadi proses selektif dan distorsi.
Atas dasar itulah, Zainul menyimpulkan, penulisan Serat Cebolek merupakan poyek keraton dalam membentuk konstruksi kebudayaan dan keberagaman Islam Jawa. Pemunculan tokoh martir yang dianggap sesat menjadi hal yang mustahak. Dalam akhir Serat Cebolek, pengarang menuturkan cuplikan kematian para tokoh heretik, mulai Sunan Panggung, Syekh Siti Jenar, Amongraga, hingga Ki Bebeluk.
Adapun Teks Kajen, menurut Zainul, validitasnya diragukan karena bersumber dari cerita turun-temurun secara lisan. Fakta dan mitos sudah berbaur. Masa penulisannya juga selang jauh, sekitar tiga abad kemudian, sehingga memungkinkan adanya distorsi. Lainnya, Teks Kajen tak selengkap Serat Cebolek, terutama saat persidangan dan perdebatan mengenai kandungan Serat Dewaruci.
Bisa jadi, Teks Kajen merupakan duplikasi Serat Cebolek yang telah dimodifikasi untuk kepentingan lokal. Teks Kajen diposisikan Zainul sebagai bentuk perlawanan kultural atas sejarah keraton yang mendiskreditkan Mutamakkin. Zainul, yang secara khusus mengkaji paham keagamaan Syekh Mutamakkin lewat Arsy al-Muwahiddin, menyebutkan, tudingan bahwa Syekh Mutamakkin ingkar sunah sangat mengada-ada.
Kitab ini tak tersusun secara sistematis, tapi lebih bersifat catatan harian. Sebab ditulis langsung oleh Syekh Mutamakkin, tentunya lebih sahih sebagai sumber sejarah ketimbang Serat Cebolek atau Teks Kajen.
Naskah Arsy al-Muwahiddin menjelaskan pandangan tasawuf Mutamakkin, yang ternyata masih dalam bingkai syariah. Dengan demikian, ia bukan penganut tasawuf falsafi yang kerap dinilai mengabaikan syariah. Mutamakkin justru penganut tasawuf Suni, yang menggabungkan tasawuf dengan syariah ala Al-Ghazali.
Para pengikutnya sejak dulu sampai sekarang tetap meyakini Mutamakkin sebagai seorang waliyullah. "Kalau Mutamakkin dianggap membawa ajaran sesat, mungkin tidak akan ada yang berziarah ke makamnya," kata Sahal Mahfudz, yang kini menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Oleh: Hidayat Tantan dan Sujoko