Syekh Mutamakkin adalah ulama kontroversial zaman Mataram Kartosuro, abad ke-18. Sejarah menempatkannya sebagai seorang tokoh "sempalan", sejajar dengan Syekh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Syekh Amongraga. Bedanya, "vonis sesat" bagi Mutamakkin tak berakhir maut. Berbeda dengan tiga pendahulunya: Syekh Siti Jenar divonis mati dengan sebilah pedang semasa Wali Songo. Lalu, Sultan Panggung dibakar di era Demak. Adapun Syekh Amongraga ditenggelamkan ke laut pada masa Sultan Agung.
Menurut Gus Dur, Mutamakkin tak dihukum mati karena tidak konfrontatif, walau pahamnya berseberangan dengan keraton. Dia lebih memilih hubungan yang harmonis. "Mbah Mutamakkin memakai pendekatan kultural, bukan pendekatan politik," kata Gus Dur dalam sebuah diskusi.
Syekh Mutamakkin diyakini berdarah biru. Ia dipercaya sebagai keturunan Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir. Ia terlahir dengan nama ningrat Sumahadiwijaya. Tanggal kelahirannya tak diketahui pasti. Diperkirakan tahun 1645, dan meninggal 90 tahun kemudian.
Ayah Syekh Mutamakkin adalah Sumohadinegoro alias Pangeran Benawa II , raja terakhir Pajang. Sedangkan ibunya putri Raden Tanu. Pangeran Benawa II adalah putra Sumahadiningrat alias Pangeran Benawa I, anak Joko Tingkir alias Mas Karebet alias Sultan Hadiwijaya.
Joko Tingkir adalah putra Kiai Ageng Pengging atau Kiai Kebo Kenongo atau Kiai Handayaningrat atau Kiai Ageng Butuh, yang makamnya terletak di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen, Jawa Tengah. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono, putra Raja Demak, Raden Fatah. Adapun ibu Syekh Mutamakkin adalah anak Raden Tanu putra Sayid Ali Asghor, trah Sunan Bejagung, Tuban, Jawa Timur. Syekh Mutamakkin juga disebut-sebut punya garis keturunan langsung dengan Nabi Muhamad SAW.
Pangeran Benawa II, ayah Syekh Mutamakkin, minta suaka ke Giri setelah Pajang diserang Mataram. Tak lama, karena Giri pun akhirnya ditaklukkan Sultan Agung. Pangeran Benawa II kemudian menyingkir ke Desa Cebolek --sekitar 10 kilometer dari Tuban. Di tempat inilah Syekh Mutamakkin dilahirkan sehingga dijuluki Mbah Mbolek.
Nama Al-Mutamakkin didapatkan sepulang berguru dari Timur Tengah. Secara harfiah, dalam bahasa Arab, al-mutamakkin berarti orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini kesuciannya. Tak jelas tahun berapa ia mulai menapakkan kaki di Kajen. Diperkirakan, setelah naik haji, dia tak langsung ke Tuban, melainkan ke sebuah desa di Pati bagian utara. Kini, tempat itu pun dikenal dengan sebutan Desa Cebolek. Masyarakat di situ percaya, nama itu diberikan Syekh Mutamakkin sendiri ketika dia tiba-tiba terjaga, atau cebul-cebul melek, di atas seekor ikan mladang.
Sebuah versi menyebutkan, Syekh Mutamakkin dari Mekkah diantar muridnya bangsa jin, yang kemudian menitipkan ke ikan tersebut. Masyarakat Kajen sampai kini pantang memakannya. Kabarnya, jika dilanggar, gatal-gatal bakal menyerang seluruh tubuh.
Setelah beberapa lama menetap di Desa Cebolek, menjelang salat isya, Syekh Mutamakkin melihat isyarat sinar terang seperti bintang jatuh. Dia pun menuju sumber cahaya yang ternyata berasal dari Desa Kajen tersebut. Di sana dia bertemu Haji Samsudin, yang diyakini sebagai empu atau kiai Desa Kajen.
Kedua tokoh ini pun bertukar ilmu agama. Haji Samsudin mengakui keunggulan ilmu syariat Mutamakkin. Dia kemudian menyerahkan anak pertamanya, Nyai Qadimah, untuk diperistri Mutamakkin. Haji Samsudin juga menyerahkan Desa Kajen kepada Syekh Mutamakkin.
Yang paling gelap menggambarkan sosok Mutamakkin adalah Serat Cebolek, yang ditulis R. Ng. Yasadipura I (1729-1983). Dia dianggap sesat, karena mengajarkan tasawuf kepada masyarakat awam, yang ketika itu dilarang. Dakwah yang disampaikan Mutamakkin dianggap tak sejalan dengan syariah.
Murid Syekh Zeyn --tokoh Naqsyabandi asal Yaman-- itu dianggap ingkar sunah, karena mengajarkan mistisisme lewat kisah jagat perkeliran Serat Dewaruci. Cerita ini merupakan indigeous local anonim dan diadaptasi dari babon cerita Mahabharata. Isinya, pedoman kesempurnaan hidup, yang dipaparkan lewat dialog Bima dan Dewaruci. Lakon ini dikenal sejak zaman Wali Songo.
Mutamakkin juga dianggap kelewatan karena menamakan anjing-anjingnya dengan nama persis penghulu kerajaan: Abdul Kahar dan Qomaruddin. Dalam Serat Cebolek, sosok Mutamakkin benar-banar dikerdilkan. "Jika dia tidak pernah ke Mekkah, dia lebih cocok sebagai penjual jerami atau pengadu," kata Demang Urawan, Bupati Jero yang diperintahkan Raja Pakubuwana II untuk menyeleksi dewan ulama yang mengadili Mutamakkin.
Dewan itu beranggotakan 11 orang. Sembilan di antaranya merekomendasikan kepada raja agar Mutamakkin dibakar di atas pematang kayu. Raja tak setuju. Dia beranggapan bahwa mistisisme Mutamakkin hanya untuk dirinya sendiri. Dia minta Mutamakkin diampuni dengan syarat tak akan mengulangi lagi. Praktis, pengadilan itu berlangsung searah: sama sekali tak ada pembelaan dari Syekh Mutamakkin.
Ketika ditantang Kiai Anom Kudus, yang memimpin dewan ulama, untuk memberikan tafsir Serat Dewaruci, Mutamakkin disebut-sebut hanya bungkam. Kiai Anom Kudus malah sempat menyindir Mutamakkin untuk pergi lagi ke Arab, belajar kitab. Dalam Serat Cebolek, Kiai Anom Kudus dilukiskan sangat cemerlang. Serat Dewaruci dipaparkan dengan sangat gamblang dan terang.
Versi Serat Cebolek itu "diputihkan" Teks Kajen. Yang kedua ini berasal dari cerita lisan yang ditururkan secara turun-temurun dan dibukukan pada 1972 oleh seorang pengikutnya. Soal memelihara anjing, Teks Kajen, seperti juga masyarakat Kajen, punya tafsir lain. "Jangan diartikan secara mentah," kata Kiai Sahal Mahfudz, seorang keturunan Syekh Mutamakkin yang kini menjabat Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Diyakini bahwa binatang itu adalah jelmaan hawa nafsu Syekh Mutamakkin. Diceritakan, selain tekun mendalami ilmu agama, Mutamakkin sering menjalani riyadloh, dengan mengurangi makan, minum, dan tak tidur berhari-hari. Penjelmaan hewan ini terjadi ketika Mutamakkin berpuasa 40 hari. Menjelang berbuka, istrinya, Siti Zulaiqoh, disuruh memasak makanan yang lezat. Untuk mengekang nafsu makan, ia mengikatkan kedua tangannya dengan tali pada tiang rumah menjelang berbuka puasa. Nah, saat itulah nafsu Syekh Mutamakkin berubah menjadi dua ekor hewan yang segera melahap hidangan sampai tandas. Ketika hewan itu ingin masuk kembali, Mutamakkin menolaknya.
Satu versi menyebutkan, kedua hewan itu berupa seekor anjing dan singa. Yang lain menyebutkan, kedua-duanya anjing. Kedua hewan itu diberi nama mirip dengan penghulu dan katib di Tuban, Abdul Qahar dan Qumaruddin. Kedua binatang itulah yang selalu mengikutinya ke mana pun Mutamakkin pergi.
Suatu hari, Mutamakkin kedatangan seorang tamu. Ia menjamu makan dengan lauk ikan kering dari berkat yang dia dapat. Eh, si tamu melahap habis hidangan itu. Durinya pun tak bersisa. Saat itu, Syekh Mutamakkin mengatakan bahwa anjingnya saja tak pernah makan nasi dan ikan hingga ludes sampai duri-durinya. Seketika itu juga, tamunya pergi dan marah-marah.
Nah, sejak saat itulah, isu miring tentang kiai pemelihara anjing ini mulai menyebar ke masyarakat. Penyebarnya tak lain tamunya yang rakus tadi. Mutamakkin juga dituduh menyebarkan ajaran sesat, karena senang membolak-balik lakon Dewaruci.
Cerita miring itu akhirnya sampai ke penguasa Keraton Kartosuro, yang ketika itu dipegang Susuhunan Amangkurat IV (1725-1726), yang kemudian diteruskan Pakubuwono II. Syekh Mutamakkin lalu disidangkan di Mahkamah Keraton Kartosuro di depan para kiai yang sudah mendapat mandat dari raja, seperti Kiai Anom dari Kudus, Kiai Winata dari Surabaya, dan Kiai Busu dari Gresik.
Berbeda dengan yang ditulis dalam Serat Cebolek, dalam Teks Kajen Syekh Mutamakkin dilukiskan sangat pandai beragumentasi tentang konsep akidah dan syariah. Bahkan para kiai yang sulit memaknai cerita Bima Suci ketika menghadap Dewaruci dijelaskan secara gamblang oleh Syekh Mutamakkin. Sebab, lakon itu mirip ajarannya --Bima mencari ilmu sejati, yang tak lain adalah ilmu tasawuf.
Para kiai pun terpecah dua. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya. Akhirnya Raden Demang Urawan menjelaskan kontroversi itu kepada raja. Syekh Mutamakkin pun dipanggil. Semula Mutamakkin enggan memberikan penjelasan. Tapi, setelah raja bersedia dibaiat jadi muridnya, dia menguraikan segalanya.
Raja merasa puas. Mutamakkin pun dibebaskan dari hukuman bakar yang ketika itu sudah dipersiapkan. "Apabila aku tidak belajar pada Mutamakkin, niscaya aku akan mati kafir," kata Pakubuwono II ketika itu.
Teks Kajen jelas sangat bertolak belakang dengan Serat Cebolek, yang menggambarkan Mutamakkin di-KO Ki Anom Kudus saat berdialog tentang hikmah Serat Dewaruci. Mana yang benar? Zainul Milal Bizawie menyebutkan, keduanya punya cacat mendasar yang membuatnya tak bisa diterima sebagai rujukan sejarah. Ia meragukan orisinalitas dan otentitasnya. Saat Serat Cebolek terwujud, Yasadipura sebagai pengarang masih balita sehingga tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mengacu pada penelitian Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar studi Asia University of Melbourne, Australia, menurut Zainul, pengarang yang sebenarnya adalah Ratu Pakubuwono I. Jika Yasadipura I dicatat sebagai pengarang, itu berarti telah terjadi penuturan ulang sehingga terjadi proses selektif dan distorsi.
Atas dasar itulah, Zainul menyimpulkan, penulisan Serat Cebolek merupakan poyek keraton dalam membentuk konstruksi kebudayaan dan keberagaman Islam Jawa. Pemunculan tokoh martir yang dianggap sesat menjadi hal yang mustahak. Dalam akhir Serat Cebolek, pengarang menuturkan cuplikan kematian para tokoh heretik, mulai Sunan Panggung, Syekh Siti Jenar, Amongraga, hingga Ki Bebeluk.
Adapun Teks Kajen, menurut Zainul, validitasnya diragukan karena bersumber dari cerita turun-temurun secara lisan. Fakta dan mitos sudah berbaur. Masa penulisannya juga selang jauh, sekitar tiga abad kemudian, sehingga memungkinkan adanya distorsi. Lainnya, Teks Kajen tak selengkap Serat Cebolek, terutama saat persidangan dan perdebatan mengenai kandungan Serat Dewaruci.
Bisa jadi, Teks Kajen merupakan duplikasi Serat Cebolek yang telah dimodifikasi untuk kepentingan lokal. Teks Kajen diposisikan Zainul sebagai bentuk perlawanan kultural atas sejarah keraton yang mendiskreditkan Mutamakkin. Zainul, yang secara khusus mengkaji paham keagamaan Syekh Mutamakkin lewat Arsy al-Muwahiddin, menyebutkan, tudingan bahwa Syekh Mutamakkin ingkar sunah sangat mengada-ada.
Kitab ini tak tersusun secara sistematis, tapi lebih bersifat catatan harian. Sebab ditulis langsung oleh Syekh Mutamakkin, tentunya lebih sahih sebagai sumber sejarah ketimbang Serat Cebolek atau Teks Kajen.
Naskah Arsy al-Muwahiddin menjelaskan pandangan tasawuf Mutamakkin, yang ternyata masih dalam bingkai syariah. Dengan demikian, ia bukan penganut tasawuf falsafi yang kerap dinilai mengabaikan syariah. Mutamakkin justru penganut tasawuf Suni, yang menggabungkan tasawuf dengan syariah ala Al-Ghazali.
Para pengikutnya sejak dulu sampai sekarang tetap meyakini Mutamakkin sebagai seorang waliyullah. "Kalau Mutamakkin dianggap membawa ajaran sesat, mungkin tidak akan ada yang berziarah ke makamnya," kata Sahal Mahfudz, yang kini menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Oleh: Hidayat Tantan dan Sujoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar