Mbah Sabil berasal dari Mataram Jogya, tapi tidak diketahui secara pasti
kapan beliau dilahirkan. Menurut Habib Luthfi Pekalongan dan almarhum
mbah mbah Kyai Abdurrahman (salah satu dari mursyid Thoriqot
Naqsabandiyah Rowobayan) mbah Sabil yang mempunyai nama asli Pangeran
Adiningrat Dandang Kusuma tersebut adalah anak laki-laki dari Benawa.
Benawa mempunyai saudara laki-laki bernama: Sumahadi Negoro atau
Condrodinegoro, yang tidak lain adalah ayah dari mbah Kyai Mutamakkin
Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Beliau adalah
seorang ulama kelahiran Tuban dengan nama asli Ahmad Mutamakkin. Haulnya
selalu diadakan setiap 10 Muharam di Pati.
Ahmad
Mutamakkin hidup dan berkiprah pada masa Pemerintahan Kerajaan Solo -
antara tahun 1719-1749 dan mengalami dua macam penguasa yaitu Amangkurat
IV dari Kartasura dan Pakubuwono II di Surakarta. Beliau terlibat dalam
perdebatan seru ketika diadili oleh Katib Anom, semacam menteri
agamanya, Amangkurat IV. Pemeriksaan pandangan-pandangan beliau oleh
Katib Anom, yang notabene cucu Sunan Kudus, direkam dalam sebuah tembang
Kraton yang berjudul Serat Cebolek. Serat atau risalah (arab) yang
menggunakan bahasa Sastra Jawa tingkat tinggi itu ditulis oleh Raden
Ngabehi Yasadipura I (sebagai orang Kraton.
Serat itu
mengisahkan tentang seorang kyai mistik pengikut teori “Wahdatul Wujud”
(kesatuan wujud), yakni Kyai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap
sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam
hal ini diwakili oleh Katib Anom. Terjadilah pengadilan atas Kyai
Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu. Salah satu
tuduhan yang diarahkan kepadanya adalah kegemarannya untuk menonton
wayang kulit, terutama dengan lakon Bima Sakti / Dewa Ruci
Ayah mbah Sabil atau Mbah Menak (Benawa-bukan pangeran Benowo) adalah cucu Sunan
Amangkurat I atau biasa dikenal sebagai Sunan Tegal Wangi, yang dulu
oleh Belanda telah difitnah sebagai pembunuh kyai-kyai di Jawa. Sunan
Tegal Wangi ini adalah turunan ke IV dari Ki Ageng Sasela/Ki Ageng
Selo.
Ki Ageng Sasela, satu julukan yang tidak asing lagi
bagi telinga-telinga orang Jawa, beliau sebetulnya bernama : Kyai Ageng
Ngabdul Rakhman yang berdiam di Seselo. Menurut cerita, ketika sedang
asyik bekerja di sawah, petir menyambar-nyambar mengganggu beliau yang
sedang giat-giatnya mencangkul, kemudian sang petir ditangkap dan di
ikat pada sebatang pohon grati. Wujudnya berupa api yang sampai sekarang
masih menyala dan disimpan dalam almari kayu di komplek makam di dukuh
Pajimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan Jawa
Tengah.
Mbah Sabil (Mbah Menak) sendiri mempunyai nama asli Pangeran Adiningrat Dandang
Kusuma. Beliau adalah orang rantau dari kerajaan Mataram Jogya. Pada
sekitar + abad XVII, beliau dikejar-kejar oleh Belanda, kemudian
menyelamatkan diri kearah timur hingga sampai di Dusun
Jethak-Bojonegoro. Beberapa saat setelah kedatangannya di Jethak,
namanya diganti Sabil karena kekhawatiran beliau diketahui oleh Belanda,
toh pada akhirnya ketahuan juga oleh kaum penjajah. Kemudian dari
Jethak melarikan diri lagi, menyelamatkan diri hingga tiba di Dusun
Jumok. Tempat ini masuk wilayah kecamatan Ngraho bagian timur, kira-kira
15 km dari Kecamatan Padangan ke arah selatan
Setelah beberapa saat tinggal di Jumok, mbah Sabil (Mbah Menak )berencana untuk pergi
ke Ampel Surabaya. Perlu diketahui bahwa mbah Sabil adalah alumni
Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya, hanya tidak diketahui kapan
beliau belajar disana. Dalam rencananya, kepergian mbah Sabil ke Ampel
harus sudah sampai tujuan dalam waktu semalam. Setelah ditentukan
harinya, beliau berangkat dari Dusun Jumok ke Ampel Gading Surabaya
setelah sholat Isya’. Beliau berjalan ke-arah Ngraho lalu ke barat dan
diteruskan ke utara hingga akhirnya berhenti di Bengawan Solo. Setelah
tiba di bengawan, beliau milir/ngintir mengikuti aliran Sungai Solo
dengan menaiki kranjang mata ero serta membawa peralatan memasak
seperti kendil, enthong dan lain-lain, yang saat ini diketahui bahwa
peralatan tersebut ditanam dipojok sisi timur bagian depan didalam
makam.
Bersamaan dengan mbah Sabil ngintir, beliau tiba disalah
satu tikungan Bengawan Solo, mbah Sabil dengongok/anguk-anguk . Ditempat
mbah Sabil anguk–anguk inilah lama kelamaan tempat tersebut dikenal
sebagai Desa Dengok. Mbah Sabil ngintir lagi ke timur, beliau mendengar
suara burung Gemek ngoceh (berkicau), akhirnya tempat tersebut berubah
menjadi Dukuh Dema’an. Perjalanan diteruskan ke timur dengan kranjang
mata ero-nya, hingga mendengar burung jalak ngoceh dan menjadilah dukuh
Jalakan. Dari Jalakan langsung ketimur dan terdengar ada ayam jago yang
sedang berkokok. Hal ini menarik perhatian mbah Sabil, ternyata ayam
jago tersebut berada disekitar kalangane (daerahnya) tempat sabung ayam,
sehingga tempat tersebut dinamakan dukuh Kalangan.
Bersamaan
beliau tiba di salah satu tempat, Fajar Shodiq sudah terlihat, akhirnya
tempat tersebut dinamakan Pajaran asal dari kata Pajar (fajar). Fajar
Sendiri dalam pengertianya ada dua dari keseluruhan hukum-hukum yang
telah dijelaskan Rasulullah yaitu fajar kadzib dan fajar shodiq. Fajar
kadzib adalah cahaya warna putih memanjang bersinar yang nampak dari
atas ke bawah seperti ekor srigala dan sedikit-demi sedikit hilang.
Fajar ini tidak menghalalkan sholat subuh, dan tidak mengharamkan
makanan bagi orang yang sedang berpuasa. Sedangkan fajar shodiq adalah
warna merah yang bersinar tersebar, yang melintang diangkasa diatas
puncak bukit-bukit dan gunung-gunung, tersebar di jalan-jalan,
gang-gang, rumah-rumah, dan inilah yang berhubungan dengan hukum-hukum
puasa dan sholat .
Semakin lama akhirnya Pajaran disebut juga
Padangan, karena sudah Padang (terang). Berhentikah mbah Sabil ?...tidak
! Akhirnya beliau terus ke timur, hingga bertemu dengan mbah Hasyim
yang saat itu sedang mengambil air wudhu di tepi Sungai Solo. Saat itu
Bengawan Solo masih kecil dan sempit tepat kiranya bila disebut Sungai.
Terlihat
oleh mbah Hasyim dari arah barat, sesuatu bergerak menuju ke-arahnya.
Mbah Hasyim penasaran melihat “sesuatu” tersebut. Setelah
diperhatikan dengan cermat, ternyata ada seseorang yang sedang naik
keranjang, dan lebih-lebih tambah penasarannya setelah diketahui
keranjang tersebut ternyata kranjang mata-ero. Anggapan mbah Hasyim,
jelas ini bukan sembarang orang dan ditunggulah orang tersebut. Setelah
dekat mbah Sabil yang masih bersila diatas keranjang ajaib itu ditanya
oleh mbah Hasyim: “Gerangan mau kemana ki sanak ?”. Lalu dijawab oleh
mbah Sabil: “Kula bade kesah wonten Ampel Denta Surabaya” (saya mau
pergi ke Ampel Surabaya). Kemudian mbah Hasyim menawarkan sudilah
kiranya mbah Sabil mampir dulu barang sebentar dirumahnya, “Mangga kula
aturi pinarak wonten griya, mangga, mangga...” katanya. Dan turunlah
mbah Sabil dari keranjang tersebut untuk memenuhi permintaan mbah
Hasyim. Kemudian mbah Hasyim membawakan keranjang mbah Sabil sambil
berjalan beriringan menuju kerumahnya.
Sesampai di tujuan, mereka
berdua melaksanakan sholat berjama’ah di Langgar mbah Hasyim. Usai
sholat mbah Hasyim matur : “Sebenarnya saya berharap, ki sanak untuk
tetap tinggal disini, karena saya membutuhkan bantuan ki sanak untuk
menyiarkan agama Islam disini”. Singkat cerita, mbah Sabil manut
mengikuti apa yang diinginkan mbah Hasyim - agar kepergiannya ke Ampel
Gading dihentikan alias di KUNCI. Akhirnya tempat tersebut akibat dari
pergeseran waktu dan kata menjadi Kuncen asal dari kata kunci. Maka
peristiwa inilah asal mula Desa KUNCEN.
Di
Desa Kuncen, mbah Sabil dan mbah Hasyim menjadikan Langgar yang semula
kecil, dibangun menjadi lebih besar dan dipergunakan untuk sholat jum’at
merangkap pula sebagai sebuah Pesantren. Lokasinya berada di Kuncen
sebelah utara, kira-kira ke arah timur-laut dari tugu pahlawan. Tidak
jelas berapa jumlah santri, dan dari mana berasal, sangat mungkin dari
dukuh-dukuh sekitar. Di mata para santri, mbah Sabil adalah pribadi
mulia, beliau tidak membeda-bedakan santrinya, sikap lembut, sabar,
ramah dan tegas adalah sikap padu dalam metodologi pendidikan &
pengajaran yang diterapkan. Istiqomah dan bersahaja merupakan ciri utama
kehidupan sehari-hari. Para santri merasa mendapatkan bimbingan setiap
hari, siang dan malam. Ada beberapa santri kinasih mbah Sabil,
diantaranya:
1) Mbah Kyai Abdurrohman Klothok. Beliau adalah cucu
mbah Sabil sendiri, yang saat ini makamnya berada disebelah barat Masjid
Klothok, Banjarjo, utara SPBU milik Nyonya Hj. Mu’ayanah Hakim Effendi
Kuncen.
2) Mbah Kamaluddin, makamnya berada di Oro-oro Bogo (bagian dari bumi Kuncen paling selatan).
3) Mbah Mamuddin (Imamuddin).
4) Mbah Jaenuddin (Zaenuddin).
5) Mbah Moyumuddin (Muchyidin).
Ada
sedikit cerita tentang salah satu santri kinasih mbah Sabil (Mbah Menak) yaitu mbah
Kamaluddin. Saat itu mbah Kamaluddin menjadi Lurah Pondok di Pesantren
mbah Sabil. Kegemaran beliau mencari ikan, salah satunya dengan mbesang
menggunakan wuwu . Tempat yang sering digunakan mbesang oleh mbah
Kamaluddin berada di Kuncen bagian timur, yang akhirnya tempat tersebut
menjadi Dukuh mBasangan.
Suatu ketika beliau mengambil wuwu
besangannya, ternyata bukan ikan yang didapat melainkan krèthè (anak
buaya). Oleh Mbah Kamaluddin krèthè tersebut dipelihara dan ditempatkan
di blumbang dekat Pondok. Tidak hanya mbah Kamaluddin yang gemar
memberi makan krèthè tersebut, tapi juga santri-santri yang lain.
Makanan yang sering didapat krèthè tersebut adalah sisa-sisa makanan
para santri terutama intip (bagian nasi yang keras dan gosong).
Hari
berganti, minggu bergulir dan bulanpun berjalan demikian pula tahun
meninggalkan kita, tidak terasa krèthè yang dulunya kecil berubah
menjadi buaya yang besar dan menakutkan. Singkat kata, suatu hari mbah
Kamaluddin dipanggil oleh mbah Sabil : “Din....Kamaluddin....bajulmu
saya suwe mundak gede lan medèni cah ngaji.”
(Din....Kamaluddin....buayamu makin lama makin besar dan membuat takut
para santri). Mbah Kamaluddin terdiam, tapi mengerti apa maksud
kyainya. Karuan saja mendengar titah kyai yang sangat dihormati itu,
beliau dan beberapa santri lainnya mempersiapkan diri untuk “membuang”
buaya tersebut ke sungai Solo.
Akhirnya dengan berat hati mbah
Kamaluddin memindahkan buaya dengan dibantu santri-santri yang lain,
dengan cara di-bopong . Sebelum diceburkan ke sungai, buaya tersebut
diberi nama oleh mbah Kamaluddin: “Destoroto”.
Alkisah menurut
penuturan para sesepuh, antara lain: mbah Kyai Haji Abdurrahman
Rowobayan, Mbah Rayis Kuncen, mbah Tasrip Slumbung, mbah Wardi Slumbung
(Jagabaya) dan banyak lain, pernah melihat dengan peningalnya (matanya)
sendiri, dikala banjir melanda Desa Kuncen, buaya tersebut
nglabar/nuweni makam mbah Kamaluddin di Oro-oro Bogo. Terkadang buaya
tersebut berada di sekitar makam, juga berkeliaran sekitar mBasangan
dan Slumbung.
Slumbung adalah nama suatu dukuh yang terletak di
sebelah barat dukuh mBasangan masih dalam kawasan Desa Kuncen, dinamakan
Slumbung karena ada sawah sak kedok/satu pethak, apabila dipanen
hasilnya se-lumbung atau satu lumbung . Dimana sebelum memanen padi
harus dikorbankan terlebih dahulu satu ekor pedet (anak sapi) karena
saking banyaknya lintah yang hidup di sawah.
di kutip dari : http://menakanggrung.blogspot.com/2008/03/riwayat-menak.html