Pribumisasi Islam Ala Syiar Syekh Ahmad Al-Mutamakkin
Setahun sekali atau saban 10 Muharam, keriuhan bertambah di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lautan manusia hilir-mudik di desa yang jaraknya kilometer (km) ke arah utara dari Pati.
Lantunan kalimat Allah menggema di udara sejak salat Subuh di tempat itu. Makin keras, lafal itu terdengar di satu tempat. Yakni, di kawasan makam. Lokasi itu adalah tempat dikebumikannya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, tokoh syiar agama ternama di daerah itu dan sekitarnya.
Hari itu, 10 Muharam tiap tahun dirayakan sebagai haul Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Upacara haul ini adalah kegiatan ritual rutin yang dilaksanakan masyarakat. Mereka datang guna menghormati Syekh Ahmad Al-Mutamakkin karena menyiarkan agama Islam. Terselip, permohonan ampun dan mengirim doa.
Tradisi ritual 10 Muharram dilakukan dalam beberapa kegiatan selama empat hari berturut-turut. Mulai tanggal 6 Muharram sampai penutupan pada 10 Muharram. Adapun rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain; Tahtiman Alquran Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul.
Acara dibuka dengan manaqiban pembukaan di makam (pesarean) pada tanggal 6 Muharram. Kemudian di hari kedua, Tahtiman Alquran Bilghoib. Pada hari ketiga, Tahtiman Alquran Binnadhor.
Tahtiman dilakukan oleh khalayak umum dan dihadiri oleh para kiai yang diundang. Ada pula masyarakat pendukung yang berasal dari desa Kajen dan sekitarnya. Pada hari ini, biasanya para warga Desa Kajen dan sekitarnya diminta bantuannya secara sukarela untuk menyediakan besekan.
Kemudian disusul dengan acara buka selambu (kain luwur) di hari keempat. Dan, dilanjutkan acara pelelangan selambu makam Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, sebagai acara puncak. Sebelum acara buka selambu dimulai didahului dengan tahlilan terlebih dahulu. Setelah pelelangan biasanya para orang-orang yang mendatangi acara tersebut dan para zairin–zairot berebut nasi ambeng yang telah didoakan terlebih dahulu.
Diantara nasi ambeng itu terdapat piring panjang bekas tempat makan dari Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Piring panjang tersebut juga diisi makanan yang dimasak dari kiai desa kajen dari salah satu keturunan Mbah Mutamakkin yang menyimpan piring tersebut. Piring ini berbentuk bulat, namun lebar.
Selain pembagian makanan, ada juga ritual meminum air oleh para tamu. Yang dugunakan adalah tempat minum yang dahulunya dipakai Mbah Mutamakkin untuk minum yang terbuat dari kuningan.
Pada siang harinya, acara kemeriahan Muharram ini diramaikan dengan karnaval dan pentas seni. Peserta datang dari berbagai daerah sekitar Pati, Kudus, Jepara dan sekitarnya. Selanjutnya pada tanggal 10 Syura merupakan acara penutupan dengan ritual manaqiban dan ditutup dengantahlil
Ritual ini dilakukan Zahit Arofat (24), pemuda asal Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah, sekitar 20 kilometer dari makam Syekh Ahmad Mutamakkin. Kepada Validnews, ia mengatakan, saat masih menjadi siswa, bersama siswa lain kerap mengadakan ziarah. Biasanya, ini dilakukan saat hendak menghadapi ujian nasional (kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA).
“Itu seperti sudah menjadi tradisi madrasahku. Sampai sekarang pun masih,” ucap dia, Kamis (20/6).
Tradisi yang biasa dilakukan saat masih sekolah, membekas pada dirinya hingga kini. Terakhir, ia berkunjung ke makam Syekh Ahmad Mutamakkin pasca Lebaran, tepatnya Jumat (7/6). Tujuannya, bertawasul.
Tawasul itu seperti perantara doa yang menyambung dari seseorang agar sampai ke Tuhan. Sebagai manusia yang tak luput dari dosa dan jauh dari Tuhan, maka berdoa melalui perantara dari para wali, ulama, nabi, rasul, hingga akhirnya sampai ke Tuhan. Salah satunya, ke Syekh Ahmad Mutamakkin, selaku wali Allah.
Sebab, orang-orang istimewa seperti mereka diyakini sangat dekat dengan Tuhan, meski tak ada lagi raga di dunia. Istilahnya 'ngalap berkah'.
Hal ini, menurut dia, bukan disalahartikan sebagai minta doa ke orang mati. Doa tetap ditujukan pada Tuhan. Namun, dengan datang ziarah ke makam tokoh, terlebih makam orang yang istimewa, dipercaya doanya akan mudah sampai.
“Doa atau harapan ya biasa seperti ketika berdoa pada umumnya. Hanya beda tempat saja,” tuturnya.
Menurut Hughes dalam bukunya yang berjudul A Dictionary of Islam (1885), makam para wali di berbagai tempat diyakini bisa menjadi sumber berkah. Makam-makam banyak menarik para pengunjung yang berharap memperoleh berkah dari wali itu, khususnya di kalangan orang Jawa.
Kiai Cebolek
Tokoh Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di daerah Pati dan sekitarnya. Diperkirakan masa hidupnya mulai 1645–1740.
Berdasarkan penelitian, nama asli Mutamakkin adalah Surgi, sedangkan Al-Mutamakkin itu adalah nama atau pangkat tertinggi atau sebutan bagi tokoh agama yang memegang teguh akan pemikiran. Sementara, Kiai Cebolek untuk menyebut seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad al-Mutamakkin, sebagai salah satu wali Allah berpengaruh pada zamannya.
Menurut Ali Rif’an, dalam karya Kearifan Lokal Syekh Ahmad Mutamakkin (1645-1740 M) dan Pemikiran Pendidikan Pesantren, Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya.
Peneliti meyakini, Mutamakkin pernah belajar di Yaman kepada Syaikh Muhammad Zayn al-Yamani. Gurunya itu merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu.
Penelitian itu juga meyakini, Mutamakkin merupakan buah hasil dari perkawinan Sumohadinegoro dengan Putri Raden Tanu.
Saat menyiarkan agama Islam, sosok Mutamakkin diterima masyarakat tempat dia menyebarkan agama. Karena, dia menggunakan strategi syiar agama yang arif, menghormati khazanah tradisi lokal. Kebijaksanaan, kearifan, dan kedalaman wawasan keilmuan serta spiritualitas Kiai Cebolek ini yang menjadi modal penting dalam dakwah tentang Islam di tanah Jawa.
Kiai Cebolek hidup sebagai ulama besar di kawasan Desa Cebolek atau kampung Cebolek. Dalam kajian sejarah sastra Jawa, nama daerah tersebut sudah diabadikan dalam sebuah serat (treatise) yang disebut Serat Cebolek. Sebuah kitab yang memuat syiar keagamaan dan kekuasaan. Tertulis juga peran dia melawan kekuasaan kerajaan saat itu.
Dari sebagian kalangan, Kiai Cebolek dianggap mengajarkan ilmu hakikat yang menyimpang dari Syariat Islam. Bahkan derajat kontroversinya disamakan dengan kontroversi yang ditimbulkan oleh Syekh Siti Jenar, pemikirannya yang dikenal dengan sebutan “manunggaling kawulo gusti”.
Kontroversi Kiai Cebolek merupakan salah satu dari contoh ketegangan yang sudah ada sejak lama antara Islam legalistik (eksoteris) dan tasawuf (esoteris). Hal itulah yang kemudian menjadi tema utama pembahasan dalam Serat Cibolek ini.
Buku yang berjudul Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal karya Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin,mengulasnya. Kisah kontroversi dan kemasyhuran sosok Kiai Cebolek dibeberkan.
Ada tiga hal yang mempengaruhi kemasyhuran Kiai Cebolek. Pertama, Kiai Cebolek menguasai ilmu agama Islam (syariah), bidang kalam, bidang fiqih, dan bidang tasawuf. Kedua, Kiai Cebolek menguasai elemen-elemen kebudayaan lokal yang bersifat non-Islam, khususnya kisah pewayangan (kisah Bima dan Dewa Ruci), dan memanfaatkan tradisi lokal itu sebagai medium untuk menyampaikan ajaran Islam tanpa melanggar ketentuan syariat yang sudah dipahaminya. Ketiga, komitmen Kiai Cebolek pada gerakan kultural-kerakyatan dengan tidak terpengaruh hingar-bingar kekuasaan yang banyak menggoda para tokoh agama.
Kiai Cebolek membentuk simetrisitas relasi antara Allah, manusia, dan alam. Representasi itu tertuang dan tersusun ditemukan dari ornamen-ornamen pada langit-langit Masjid Kajen Pati. Pada ornamen-ornamen ini terukir berbagai aneka alam lestari, misalnya, pohon, ular, burung, bulan, matahari, manusia, dan beberapa unsur kelestarian alam. Keseluruhan ornamen ini telah dikupas secara filosofis menjadi sebuah suluk kewalian yang bisa membentuk keseimbangan jiwa dan kepribadian yang baik yang lebih ramah terhadap lingkungan hidup.
Dari kacamata KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia keempat, gerakan Kiai Cebolek diakui sebagai gerakan “Pribumisasi Islam”. Sehingga kita bisa menengok cara-cara konsep “Pribumisasi Islam” itu sendiri lewat pandangan Kiai Cebolek.
Pribumisasi yang diterapkan oleh Kiai Cebolek merupakan sebuah fase kesadaran ide. Yakni, membentuk sikap dan kepribadinan individu yang kuat secara keimanan dan banyak melakukan amal perbuatan. Dakwah yang dilakukan Kiai Cebolek menyentuh semua aspek mulai dari amal perbuatan, pemikiran, kejiwaan, dan rohani itu sendiri
Pondok Pesantren
Ada persinggungan kisah antara Abdurrahman Wahid dan Kiai Cebolek. Mutamakkin memiliki keturunan; Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Kemudian, Kiai Bagus memiliki keturunan antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur), dan KH Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia keempat.
Sementara, Alfiyah dan Endro tetap tinggal di Kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Pondok Pesantren Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah pondok pesantren tertua di Desa Kajen.
Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra dari KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau Wetan Banon ini didasarkan atas posisinya dari kompleks pesarean Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).
Sekitar tahun 1910, K.H. Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan Pondok Pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Pondok Pesantren Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).
Harus diakui, berbagai tradisi Islam pada masyarakat desa Kajen merupakan hasil dari pengaruh dari Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Mbah Mbolek atau keraMenurut beberapa sumber, konon beliau memiliki tali lahir maupun batin dengan para sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Sultan Bintoro (Raden Patah). Dipercaya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin masih mempunyai garis keturunan dengan Raja muslim Jawa, Jaka Tingkir dan Majapahit Brawijaya IV.p akrab dengan sebutan Mbah Mutamakkin.
Dalam penelitian Universitas Diponegoro dan Karang Taruna Sumohadiwijaya Kajen (2018), Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Kerajaan Demak mempunyai putra Sultan Trenggono. Lalu, Sultan Trenggono memiliki menantu Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir). Kemudian Sultan Hadi Wijaya mempunyai putra bernama Condroningrat alias Pangeran Benowo. Dan kemudian, Pangeran Benowo melahirkan putra Condronegoro, yang kemudian memiliki putra Syekh Ahmad Mutamakkin.
Namun, menurut penuturan Menurut KH Imam Sanusi, yang dituliskan oleh Robiyanti dalam karya ilimiah Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin di Kabupaten Pati (2006), bahwasanya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin berasal dari dari desa Cabolek wilayah Tuban Jawa Timur.
Dalam tulisan yang sama, Daerah Pati bagian utara tepatnya di wilayah kawedanan Tayu, ada desa Cabolek. Kata cebolek berasal kata cebul-cebul melek.
Menurut KH Muadz Thohir, desa Cabolek adalah desa yang diberi nama oleh Mutamakkin sendiri. Ini diambil dari cerita ketika beliau melakukan ibadah haji ke tanah suci, pada saat dibuang oleh Jin ke laut dan kemudian ditolong oleh ikan Mladhang.
Berdasarkan cerita rakyat tatkala Mutamakkin menaiki ikan Mladhang di laut, dia dipertemukan dengan Mbah Syamsudin. Orang tersebut yang pertama mendiami desa Kajen dan diangkat sebagai murid sekaligus menantunya. Mbah Syamsudin kemudian menyerahkan dan mempercayakan desa Kajen kepada Syekh Ahmad al-Mutamakkin sampai beliau meninggal dan dimakamkan. Bahkan, ia juga dijuluki dengan “Kiai Cebolek”.
Peninggalan Arkeologis
Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 ponpes berdiri di Desa Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai lembaga pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, namun tidak lupa kitab kuning juga diajarkan di sekolah tersebut.
Peninggalan arkeologis Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati, masih menggeliat.
Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Orang setempat biasa menyebutnya dengan “Masjid Kajen”. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.
Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “Saka Nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh.
Seperti umumnya masjid jami, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornamen yang tinggi akan seninya. Banyak penafsiran tentang ornamen tersebut. Misalnya, bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya, semangat dan doa akan sanggup untuk menggapai cita-cita yang mulia.
Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka).
Adapun papan bersurat (dairoh) yang berisi kaligrafi yang dipercaya memiliki makna yang dalam, serta pasujudan yang berbentuk batu besar yang digunakan untuk salat Dhuha oleh Syekh Ahmad Al-mutamakkin. Pasujudan ini sekarang dibuat seperti surau kecil dan terletak di depan makam Mutamakkin.
Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.
Ajaran Mutamakkin juga tertuang dalam catatan harian ‘Arsy Al-Muwahhidin’. Naskah ini ditulis pada tanggal 9 Rabiul Awal 1117 H (1705 M) dengan tebal 300 halaman. (Fajar Setyadi, diolah berbagai sumber)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar