Masjid Karomah Winong terletak di Kelurahan Sugiharjo Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Masjid kuno yang terletak di pinggir sungai ini adalah peninggalan Syekh Ahmad Mutamakkin.Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama dan kyai yang berasal dari Kampung Cebolek (sekarang berganti nama menjadi dukuh Winong Kelurahan Sugiharjo), sekitar 10 Km dari kota Tuban. Namun, kemudian beliau menetap di Desa Cebolek, Kajen, Pati, hingga wafatnya. Sebagian Muslim di Jawa Tengah, menyebut tokoh ini dengan nama Mbah Mbolek atau Mbah Mutamakkin.
Didalam masjid Karomah Winong masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang pernah dipergunakan oleh Syekh Ahmad Mutamakkin untuk menjemur peci/baldu (masyarakat sekitar menyebutnya klebut) dan sebuah batu yang berbentuk asbak. Konon, keris pusaka Syekh Ahmad sekitar masih berada di dalam pohon Sawo kecik yang berada di depan masjid itu.
Mbah Mutamakkin ini keturunan bangsawan Jawa, dari garis bapak adalah keturunari dari Raden Patah (Sultan Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono.Sultan Trenggono telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo (Raden Hadiningrat) yang mempunyai putra bernama Pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.Sedangkan dari garis ibu, Syekh Mutamakkin adalah keturunan dari Sayyid AliAkbar dari Bejagung, Semanding, Tuban. Sayyid ini mempunyai putra bernama Raden Tanu.Dan, Raden Tanu ini mempunyai seorang putri yang menjadi ibunda Mbah
Mutamakkin.Dipercayai bahwa nama ningrat Mbah Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya, yang merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V.
Dalam masa hidupnya Syekh Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan Syekh Mutamakkin berguru kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syekh Zayn (Syekh Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya (Abdul Khaliq Ibn Zayn) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa Kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “Cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di desa barunya ini Mutamakkin mendapatkan isyarat setelah menunaikan shalat Isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi Syekh Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah.
Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini
sebagai orang pertama Kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam Mbah Syamsuddin berada disebelah barat makam Syekh Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadlah dan menghafalkan al- Qur’an.
sebagai orang pertama Kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah Kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam Mbah Syamsuddin berada disebelah barat makam Syekh Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadlah dan menghafalkan al- Qur’an.
Dalam Serat Cebolek diceritakan bahwa Syekh Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai- nilai substansial dalam Islam melalui ajaran kesufian dan tarekat. Syekh Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasauf mengandaikan bersatunya antara kazvula dan Gusti. Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama (Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Sebagai seorang alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci.Saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut.Memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada Syekh Zain al-Yamani.
Lazimnya seorang sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada Sang Khaliq , ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih me- nahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadlah dengan puasa selama 40 hari.Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar dapat mengalahkan hawa nafsunya. Namun sebagian versi lain mengatakan bahwa kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya.
Mbah Mutamakkin adalah sosok seorang alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasiberkat (satu porsi nasi dari kenduren) yang dihabiskan sampai bersih.Dikatakan oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi sampai habis seperti itu. Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar peraturan hukum Islam. Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat disidangkan di Keraton Surakarta dengan penuntut seorang alim dari Kudus yang bernama Khatib Anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil kembali ke desanya untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi keyakinannya. Dua anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban.Pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu. Namun pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.