Social Icons

Pribumisasi Islam Ala Syiar Syekh Ahmad Al-Mutamakkin

Setahun sekali atau saban 10 Muharam, keriuhan bertambah di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lautan manusia hilir-mudik di desa yang jaraknya kilometer (km) ke arah utara dari Pati. Lantunan kalimat Allah menggema di udara sejak salat Subuh di tempat itu. Makin keras, lafal itu terdengar di satu tempat. Yakni, di kawasan makam. Lokasi itu adalah tempat dikebumikannya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, tokoh syiar agama ternama di daerah itu dan sekitarnya. Hari itu, 10 Muharam tiap tahun dirayakan sebagai haul Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Upacara haul ini adalah kegiatan ritual rutin yang dilaksanakan masyarakat. Mereka datang guna menghormati Syekh Ahmad Al-Mutamakkin karena menyiarkan agama Islam. Terselip, permohonan ampun dan mengirim doa. Tradisi ritual 10 Muharram dilakukan dalam beberapa kegiatan selama empat hari berturut-turut. Mulai tanggal 6 Muharram sampai penutupan pada 10 Muharram. Adapun rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain; Tahtiman Alquran Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul. Acara dibuka dengan manaqiban pembukaan di makam (pesarean) pada tanggal 6 Muharram. Kemudian di hari kedua, Tahtiman Alquran Bilghoib. Pada hari ketiga, Tahtiman Alquran Binnadhor. Tahtiman dilakukan oleh khalayak umum dan dihadiri oleh para kiai yang diundang. Ada pula masyarakat pendukung yang berasal dari desa Kajen dan sekitarnya. Pada hari ini, biasanya para warga Desa Kajen dan sekitarnya diminta bantuannya secara sukarela untuk menyediakan besekan. Kemudian disusul dengan acara buka selambu (kain luwur) di hari keempat. Dan, dilanjutkan acara pelelangan selambu makam Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, sebagai acara puncak. Sebelum acara buka selambu dimulai didahului dengan tahlilan terlebih dahulu. Setelah pelelangan biasanya para orang-orang yang mendatangi acara tersebut dan para zairin–zairot berebut nasi ambeng yang telah didoakan terlebih dahulu. Diantara nasi ambeng itu terdapat piring panjang bekas tempat makan dari Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Piring panjang tersebut juga diisi makanan yang dimasak dari kiai desa kajen dari salah satu keturunan Mbah Mutamakkin yang menyimpan piring tersebut. Piring ini berbentuk bulat, namun lebar. Selain pembagian makanan, ada juga ritual meminum air oleh para tamu. Yang dugunakan adalah tempat minum yang dahulunya dipakai Mbah Mutamakkin untuk minum yang terbuat dari kuningan. Pada siang harinya, acara kemeriahan Muharram ini diramaikan dengan karnaval dan pentas seni. Peserta datang dari berbagai daerah sekitar Pati, Kudus, Jepara dan sekitarnya. Selanjutnya pada tanggal 10 Syura merupakan acara penutupan dengan ritual manaqiban dan ditutup dengantahlil Ritual ini dilakukan Zahit Arofat (24), pemuda asal Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah, sekitar 20 kilometer dari makam Syekh Ahmad Mutamakkin. Kepada Validnews, ia mengatakan, saat masih menjadi siswa, bersama siswa lain kerap mengadakan ziarah. Biasanya, ini dilakukan saat hendak menghadapi ujian nasional (kelas 9 SMP dan kelas 12 SMA). “Itu seperti sudah menjadi tradisi madrasahku. Sampai sekarang pun masih,” ucap dia, Kamis (20/6). Tradisi yang biasa dilakukan saat masih sekolah, membekas pada dirinya hingga kini. Terakhir, ia berkunjung ke makam Syekh Ahmad Mutamakkin pasca Lebaran, tepatnya Jumat (7/6). Tujuannya, bertawasul. Tawasul itu seperti perantara doa yang menyambung dari seseorang agar sampai ke Tuhan. Sebagai manusia yang tak luput dari dosa dan jauh dari Tuhan, maka berdoa melalui perantara dari para wali, ulama, nabi, rasul, hingga akhirnya sampai ke Tuhan. Salah satunya, ke Syekh Ahmad Mutamakkin, selaku wali Allah. Sebab, orang-orang istimewa seperti mereka diyakini sangat dekat dengan Tuhan, meski tak ada lagi raga di dunia. Istilahnya 'ngalap berkah'. Hal ini, menurut dia, bukan disalahartikan sebagai minta doa ke orang mati. Doa tetap ditujukan pada Tuhan. Namun, dengan datang ziarah ke makam tokoh, terlebih makam orang yang istimewa, dipercaya doanya akan mudah sampai. “Doa atau harapan ya biasa seperti ketika berdoa pada umumnya. Hanya beda tempat saja,” tuturnya. Menurut Hughes dalam bukunya yang berjudul A Dictionary of Islam (1885), makam para wali di berbagai tempat diyakini bisa menjadi sumber berkah. Makam-makam banyak menarik para pengunjung yang berharap memperoleh berkah dari wali itu, khususnya di kalangan orang Jawa. Kiai Cebolek Tokoh Syekh Ahmad Al-Mutamakkin dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di daerah Pati dan sekitarnya. Diperkirakan masa hidupnya mulai 1645–1740. Berdasarkan penelitian, nama asli Mutamakkin adalah Surgi, sedangkan Al-Mutamakkin itu adalah nama atau pangkat tertinggi atau sebutan bagi tokoh agama yang memegang teguh akan pemikiran. Sementara, Kiai Cebolek untuk menyebut seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad al-Mutamakkin, sebagai salah satu wali Allah berpengaruh pada zamannya. Menurut Ali Rif’an, dalam karya Kearifan Lokal Syekh Ahmad Mutamakkin (1645-1740 M) dan Pemikiran Pendidikan Pesantren, Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya. Peneliti meyakini, Mutamakkin pernah belajar di Yaman kepada Syaikh Muhammad Zayn al-Yamani. Gurunya itu merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu. Penelitian itu juga meyakini, Mutamakkin merupakan buah hasil dari perkawinan Sumohadinegoro dengan Putri Raden Tanu. Saat menyiarkan agama Islam, sosok Mutamakkin diterima masyarakat tempat dia menyebarkan agama. Karena, dia menggunakan strategi syiar agama yang arif, menghormati khazanah tradisi lokal. Kebijaksanaan, kearifan, dan kedalaman wawasan keilmuan serta spiritualitas Kiai Cebolek ini yang menjadi modal penting dalam dakwah tentang Islam di tanah Jawa. Kiai Cebolek hidup sebagai ulama besar di kawasan Desa Cebolek atau kampung Cebolek. Dalam kajian sejarah sastra Jawa, nama daerah tersebut sudah diabadikan dalam sebuah serat (treatise) yang disebut Serat Cebolek. Sebuah kitab yang memuat syiar keagamaan dan kekuasaan. Tertulis juga peran dia melawan kekuasaan kerajaan saat itu. Dari sebagian kalangan, Kiai Cebolek dianggap mengajarkan ilmu hakikat yang menyimpang dari Syariat Islam. Bahkan derajat kontroversinya disamakan dengan kontroversi yang ditimbulkan oleh Syekh Siti Jenar, pemikirannya yang dikenal dengan sebutan “manunggaling kawulo gusti”. Kontroversi Kiai Cebolek merupakan salah satu dari contoh ketegangan yang sudah ada sejak lama antara Islam legalistik (eksoteris) dan tasawuf (esoteris). Hal itulah yang kemudian menjadi tema utama pembahasan dalam Serat Cibolek ini. Buku yang berjudul Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal karya Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin,mengulasnya. Kisah kontroversi dan kemasyhuran sosok Kiai Cebolek dibeberkan. Ada tiga hal yang mempengaruhi kemasyhuran Kiai Cebolek. Pertama, Kiai Cebolek menguasai ilmu agama Islam (syariah), bidang kalam, bidang fiqih, dan bidang tasawuf. Kedua, Kiai Cebolek menguasai elemen-elemen kebudayaan lokal yang bersifat non-Islam, khususnya kisah pewayangan (kisah Bima dan Dewa Ruci), dan memanfaatkan tradisi lokal itu sebagai medium untuk menyampaikan ajaran Islam tanpa melanggar ketentuan syariat yang sudah dipahaminya. Ketiga, komitmen Kiai Cebolek pada gerakan kultural-kerakyatan dengan tidak terpengaruh hingar-bingar kekuasaan yang banyak menggoda para tokoh agama. Kiai Cebolek membentuk simetrisitas relasi antara Allah, manusia, dan alam. Representasi itu tertuang dan tersusun ditemukan dari ornamen-ornamen pada langit-langit Masjid Kajen Pati. Pada ornamen-ornamen ini terukir berbagai aneka alam lestari, misalnya, pohon, ular, burung, bulan, matahari, manusia, dan beberapa unsur kelestarian alam. Keseluruhan ornamen ini telah dikupas secara filosofis menjadi sebuah suluk kewalian yang bisa membentuk keseimbangan jiwa dan kepribadian yang baik yang lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Dari kacamata KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia keempat, gerakan Kiai Cebolek diakui sebagai gerakan “Pribumisasi Islam”. Sehingga kita bisa menengok cara-cara konsep “Pribumisasi Islam” itu sendiri lewat pandangan Kiai Cebolek. Pribumisasi yang diterapkan oleh Kiai Cebolek merupakan sebuah fase kesadaran ide. Yakni, membentuk sikap dan kepribadinan individu yang kuat secara keimanan dan banyak melakukan amal perbuatan. Dakwah yang dilakukan Kiai Cebolek menyentuh semua aspek mulai dari amal perbuatan, pemikiran, kejiwaan, dan rohani itu sendiri Pondok Pesantren Ada persinggungan kisah antara Abdurrahman Wahid dan Kiai Cebolek. Mutamakkin memiliki keturunan; Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Kemudian, Kiai Bagus memiliki keturunan antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur), dan KH Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia keempat. Sementara, Alfiyah dan Endro tetap tinggal di Kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Pondok Pesantren Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah pondok pesantren tertua di Desa Kajen. Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra dari KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau Wetan Banon ini didasarkan atas posisinya dari kompleks pesarean Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon). Sekitar tahun 1910, K.H. Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan Pondok Pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Pondok Pesantren Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat). Harus diakui, berbagai tradisi Islam pada masyarakat desa Kajen merupakan hasil dari pengaruh dari Syekh Ahmad Al-Mutamakkin. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Mbah Mbolek atau keraMenurut beberapa sumber, konon beliau memiliki tali lahir maupun batin dengan para sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Sultan Bintoro (Raden Patah). Dipercaya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin masih mempunyai garis keturunan dengan Raja muslim Jawa, Jaka Tingkir dan Majapahit Brawijaya IV.p akrab dengan sebutan Mbah Mutamakkin. Dalam penelitian Universitas Diponegoro dan Karang Taruna Sumohadiwijaya Kajen (2018), Raden Patah yang saat itu menjadi Sultan Kerajaan Demak mempunyai putra Sultan Trenggono. Lalu, Sultan Trenggono memiliki menantu Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir). Kemudian Sultan Hadi Wijaya mempunyai putra bernama Condroningrat alias Pangeran Benowo. Dan kemudian, Pangeran Benowo melahirkan putra Condronegoro, yang kemudian memiliki putra Syekh Ahmad Mutamakkin. Namun, menurut penuturan Menurut KH Imam Sanusi, yang dituliskan oleh Robiyanti dalam karya ilimiah Tradisi 10 Sura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin di Kabupaten Pati (2006), bahwasanya Syekh Ahmad Al-Mutamakkin berasal dari dari desa Cabolek wilayah Tuban Jawa Timur. Dalam tulisan yang sama, Daerah Pati bagian utara tepatnya di wilayah kawedanan Tayu, ada desa Cabolek. Kata cebolek berasal kata cebul-cebul melek. Menurut KH Muadz Thohir, desa Cabolek adalah desa yang diberi nama oleh Mutamakkin sendiri. Ini diambil dari cerita ketika beliau melakukan ibadah haji ke tanah suci, pada saat dibuang oleh Jin ke laut dan kemudian ditolong oleh ikan Mladhang. Berdasarkan cerita rakyat tatkala Mutamakkin menaiki ikan Mladhang di laut, dia dipertemukan dengan Mbah Syamsudin. Orang tersebut yang pertama mendiami desa Kajen dan diangkat sebagai murid sekaligus menantunya. Mbah Syamsudin kemudian menyerahkan dan mempercayakan desa Kajen kepada Syekh Ahmad al-Mutamakkin sampai beliau meninggal dan dimakamkan. Bahkan, ia juga dijuluki dengan “Kiai Cebolek”. Peninggalan Arkeologis Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 ponpes berdiri di Desa Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai lembaga pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, namun tidak lupa kitab kuning juga diajarkan di sekolah tersebut. Peninggalan arkeologis Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati, masih menggeliat. Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Orang setempat biasa menyebutnya dengan “Masjid Kajen”. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati. Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “Saka Nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh. Seperti umumnya masjid jami, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornamen yang tinggi akan seninya. Banyak penafsiran tentang ornamen tersebut. Misalnya, bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya, semangat dan doa akan sanggup untuk menggapai cita-cita yang mulia. Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka). Adapun papan bersurat (dairoh) yang berisi kaligrafi yang dipercaya memiliki makna yang dalam, serta pasujudan yang berbentuk batu besar yang digunakan untuk salat Dhuha oleh Syekh Ahmad Al-mutamakkin. Pasujudan ini sekarang dibuat seperti surau kecil dan terletak di depan makam Mutamakkin. Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut. Ajaran Mutamakkin juga tertuang dalam catatan harian ‘Arsy Al-Muwahhidin’. Naskah ini ditulis pada tanggal 9 Rabiul Awal 1117 H (1705 M) dengan tebal 300 halaman. (Fajar Setyadi, diolah berbagai sumber)

Kisah Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah Salam, dan Gus Dur

KH Ahmad Mutamakkin atau Mbah Mutamakkin yang haulnya telah digelar pada Kamis (27/8/2020) malam lalu merupakan sosok ulama istimewa di mata KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan warga NU pada umumnya. Gus Dur selalu menyempatkan mampir ke makam Mbah Mutamakkin saat sedang melewati daerah Kajen, Morgoyoso, Pati, Jawa Tengah. Dalam kesempatan haul pada 9 Muharram 1442 H itu dihadiri ulama terkemuka, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dalam ceramahnya, Gus Mus menekankan ajaran-ajaran kemanusiaan yang kini perlahan-lahan telah luntur. Sebab itu menurut Gus Mus, masyarakat Islam di Indonesia harus lebih mendalami ilmu-ilmu agama melalui ngaji di pesantren. Gus Mus juga memberikan pesan bahwa memperingati haul Mbah Mutamakkin hendaknya bukan hanya persoalan seremonial saja, tetapi masyarakat perlu ngaji ulang, terutama ajaran-ajaran dan contoh-contoh yang diberikan oleh Simbah Syekh Mutamakkin. Gus Mus memang mempunyai kisah hikmah ketika berbincang dengan Gus Dur yang kala itu hendak berziarah ke maqbarah Mbah Mutamakkin. Gus Dur adalah pemimpin besar yang tidak lepas dari tradisi ziarah kubur dan silaturrahim. Ketika menghadapi berbagai problem bangsa, baik saat belum menjadi Presiden RI maupun setelah memangku jabatan presiden, Gus Dur lebih memilih berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal dengan mengunjungi makamnya, ketimbang melakukan lobi-lobi politik. “Saya datang ke makam, karena saya tahu, mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.” (Wisdom Gus Dur, 2014) Menurut riwayat yang diceritakan Gus Mus, Gus Dur saat itu memberi kabar bahwa dirinya ingin bertemu (baca: ziarah) dengan dua orang kiai dari Kajen, Mbah Mutamakkin dan Mbah Dullah (KH Abdullah Salam). Bedanya, Gus Dur ingin bertemu Mbah Dullah di rumahnya, sedangkan Mbah Mutamakkin ingin ditemui Gus Dur di makamnya yang tidak pernah sepi peziarah. Hal itu Gus Mus ungkapkan ketika sedang berbincang santai dengan KH Husein Muhammad. Ketika itu, Gus Mus langsung meminta Kiai Husein untuk menyampaikan keinginan Gus Dur tersebut ke Mbah Dullah. Kiai Husein langsung menuju Kajen, Margoyoso, Pati untuk menemui kiai kharismatik yang lahir 1917 (informasi dari KH Ma’mun Muzayyin, menantu Mbah Dullah) ini. Kiai Husein langsung menyampaikan tujuannya menemui Mbah Dullah. “Wah, Gus Dur tidak akan bertemu dengan Mbah Mutamakkin, beliau sedang keluar,” tutur Mbah Dullah kepada Kiai Husein. (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015) Kiai Husein sendiri sudah mafhum apa yang dimaksud Mbah Mutamakkin sedang keluar seperti yang diungkapkan oleh Mbah Dullah. Orang-orang shaleh memang kerap mempunyai cara tersendiri dalam berkomunikasi meskipun secara jasad sudah meninggal. Hal ini tentu di luar batas nalar manusia pada umumnya, sebab ulama mempunyai keistimewaan yang disebut karomah. Informasi dari Mbah Dullah tersebut disimpan oleh Kiai Husein dan akan dikabarkan ketika dirinya bertemu langsung dengan Gus Dur. Kiai Husein tidak mau orang lain salah paham ketika dirinya menyampaikan kabar dari salah seorang kiai sufi dan zahid (bersajaha, zuhud) tersebut. Atas keinginannya untuk sowan kepada dua orang kiai Kajen tersebut, Gus Dur pun langsung meluncur ke Kajen dan ternyata langsung menuju rumah Mbah Dullah. Padahal, usai tiba di Kajen, mestinya Gus Dur menemui Mbah Mutamakkin terlebih dahulu sebelum menuju rumah Mbah Dullah. “Lha, jarene (katanya) menemui Mbah Mutamakkin dulu, kok ke sini (rumah Mbah Dullah) dulu?” Gus Dur menjawab singkat, “Mbah Mutamakkin ora ono, lagek metu (Mbah Mutamakkin tidak ada, sedang keluar).” Bagaimana Gus Dur mengetahui kabar Mbah Mutamakkin sedang keluar. Padahal kabar dari Mbah Dullah tersebut belum disampaikan kepada Gus Dur. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di benak Kiai Husein. Menurut Kiai Husein, itulah salah satu tanda kewalian Gus Dur. Orang semacam itu acap kali paham hal-hal yang orang pada umumnya tidak mengerti sehingga Gus Dur sering dinilai weruh sak durunge winara (mengetahui sebelum kejadian). Penulis: Fathoni Ahmad Editor: Muchlishon Sumber: https://www.nu.or.id/fragmen/kisah-mbah-mutamakkin-mbah-dullah-salam-dan-gus-dur-wInza ___ Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

PRAJURIT KECIL

Awi nama ayahku lahir di Desa Cebolek RT. 3 RW.3 Kec. Margoyoso Kab.Pati Jawa Tengah dari pasangan Mbah Ngarjo Cebolek dan Mbah Maridah Parenggan Pati pada tahun 1923. Bapak Awi sudah yatim piatu sejak kecil. Masa remajanya di asuh oleh KH. Asari ayah KH.Mudzakkir Cebolek Kidul (Sebelah selatan Madr.I’anatut Thalibin). Masa remajanya Bpk.AWI ikut pasukan Heiho bentukan Jepang untuk persiapan Kemerdekaan RI. Kemudian dibubarkan PPKI anggotanya menjadi BKR kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi TKR lalu berubah menjadi TRI dan akhirnya menjadi TNI ( Tentara Nasional Indonesia . Ada cerita menarik dari ayahku ketika njagong sama teman seperjuangannya yaitu Bapak Husnan (Cebolek) Ketika itu saya nguping setelah menyuguhkan dua gelas kopi sebagai teman njagong berdua. Menjelang pertempuran 5 hari di Semarang Pemuda Kec. Margoyoso disediakan 2 Truk untukmengangkut pemuda-pemuda yang siap berjihad ke Semarang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ini terjadi pada tgl.14 sd 19 Oktober 1945. Setelah mendapatkan bekal do’a dan sarana dari KH. Nawawi Kajen, Seorang Kiyai dan pejuang Kemerdekaan RI. Yaitu berupa seikat sunduk sate yang berfungsi sebagai peluru kendali dan satu tongkat menjalin yang sudah di asmaki beliau berangkatlah pemuda-pemuda Kec. Margoyoso Ke Semarang itupun tidak sampai satu Truk penuh, hal ini bisa dimaklumi sebab perjuangan ini antara hidup dan mati. Saat Pertempuran lima hari Semarang Bapak Husnan hilang, teman-temannya termasuk Bapakku mengira Bpk. Husnan gugur tertembak Belanda di Semarang. Ternyata Bpk.Husnan lari dari kejaran Belanda dan bersembunyi di Tong sebuah Kapal di pelabuhan Tanjung Mas Semarang lalu Kapalnya berangkat di Kalimantan. Jadi selama 7 hari sudah dibacakan Tahlil oleh teman-temannya.lalu mereka tertawa. Bpk Husnan Bertanya pada Bapakku “ Menjalin dan biting sate suwuane Mbah Wi (KH. Nawawi Kajen) nggonmu eko ijeh wi” Bapakku menjawab “ Menjaline ijeh Kang” . wah nggonku ilang re. saat ini tak simpan untuk kenang-kenangan. Perjuangan tidak sampai disitu saja, Bapak Awi pernah juga ikut memikul tandu Jendral Sudirman ketika terjadi Palagan Ambarawa. Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November sampai 15 Desember 1945 antara pasukan Tentara Keamanan Rakyat(TKR)melawan sekutu Inggris Pertempuran ini terjadi atas niat para sekutu yang ingin menaklukkan Jawa Tengah dengan menggunakan wilayah Ambarawa sebagai batu pijakan. Hal tersebut disebabkan Ambarawa memiliki letak yang strategis di antara Yogyakarta dan Surakarta. Pada awalnya sekutu Inggris datang ke Indonesia untuk menyelesaikan masalah tawanan Belanda di Magelang dan Ambarawa. Namun ternyata mereka diboncengi NICA (Nederland Indische Civil Administration) yang mempersenjatai mantan tahanan. Ketika Negara sudah mulai aman Bapakku AWI pulang kemudian nikah. Pada pernikahan dengan emakku Jamiah putri dari Mbah Fadhil Mbah Damari Runting Pati mendapatkan anak.1. Mustairoh 2. Abdul Haris 3. Asrofah. Pernah tinggal di Runting Pati beberapa tahun yang akhirnya kembali ke Cebolek ikut saudara sepupunya yaitu Lek Sriah sementara waktu. Lalu membeli tanah milik Mbah Marfuah yang sampai sekarang aku tempati. Bapakku mendapat kepercayaan kerja oleh KH. Mujazzad Pengasuh Pondok Pesantren Jannatul Huda. Dalam segala hal, selain pertanian juga diajarkan cara berjuang di Madrasah. Sesuai kemampuannya, seperti tiap-tiap liburan Madrasah Bapakku di suruh Mbah Jajad nguwas Madr. I’anatut Thalibin Cebolek maupun Khoiriyah Waturoyo dengan biaya dan ditenagani sendiri tanpa upah. Keteladanan KH.Muzajjad terhadap Bapakku memang terpatri betul yaitu jiwa perjuangan. Bapakku pernah cerita kepadaku, disruruh KH.Muzajjad menagih uang hasil jualan satu truk Kayu Jati di jepara yang jumlahnya 90 ribu, setelah diserahkan beliau KH.Muzajjad disuruh untuk membelanjakan keperluan Madrasah Khoiriyah berupa Bangku Madrasah. Sifat perjuangan, mandiri serta pengabdian untuk Negara, Agama semoga selalu mengalir dan berkesinambungan ke anak cucunya. Aamiin. Silsilah Karto Kelut Punya anak tiga ( Ngarjo, Warni, Umi) Ngarjo punya anak tiga ( Darni, Awi, Masriah) Awi + Jamiah punya anak tiga ( Mustairoh, Abdul Haris, Asrofah)

Pentingnya Menulis Biografi Leluhur)

Semua manusia memiliki asal-usul dari mana ia berasal dan dari siapa ia dilahirkan. Semuanya tidak ada yang tidak memiliki leluhur dan asal-usul, karena manusia hidup selalu berestafet dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hanya saja kadang Allah mengecualikan beberapa hambanya yang terpilih, seperti lahir tanpa ayah dan ibu, yakni Nabi Adam. Lahir tanpa ayah, yaitu Nabi Isa as. Dan kesemuanya merupakan takdir atas kehendak-Nya. Kita semua, yang hidup di tahun 2023, pasti memiliki ayah, ibu, kakek, nenek, buyut, canggah dan terus keatas. Semua yang pernah hidup pasti memiliki kisah perjalanan yang panjang. Baik dan buruk pasti pernah dilaluinya. Dan kesemuanya memikul sejarah yang amat panjang dan mendalam bagi dirinya dan keluarganya. Andaikata kisah setiap orang tua ditulis, maka setiap manusia memiliki manuskrip sejarah masa lampau di rumahnya masing-masing. Akan tetapi realitanya, tidak semua kisah orang tua dan kakek neneknya ditulis. Entah karena malas, enggan, dan sama sekali tidak mempedulikan hal seperti itu. Padahal setiap perjalanan hidup manusia pasti memiliki kebijaksanaannya tersendiri. Dari lahir sampai dewasa ini, kita lebih banyak membaca dan menulis biografi para Nabi, sahabat, pahlawan, dan tokoh-tokoh penting lainnya yang tersebar di koran, buku cetak, majalah dan sebagainya. Mengapa kita tidak menulis juga kisah orang tua dan leluhur kita? Padahal jika kita tidak menulisnya, kisah kebijaksanaan mereka akan tenggelam ditelan zaman. Apakah karena mereka orang biasa? Justru karena orang biasalah, kisah mereka harus kita tulis. Karena akan jarang menemukan mengangkat kisah orang biasa dengan segudang kebijaksanaan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat sekitar. Karena kita malas menulis kisah mereka, sehingga para leluhur seperti tidak memiliki mutiara. Andaikata memiliki mutiara, maka akan terpendam sedikit demi sedikit, seiring berjalannya waktu. Karena kisah mereka hanya sekedar ulasan lisan (tutur tinular). Dan akhirnya kisah mereka terkubur bersama dengan batu nisannya juga. Maka, kita sebagai generasi sekarang, sudah waktunya untuk mengetahui asal-usul dari mana leluhur kita berasal dan apa saja kebijaksanaan yang mereka lakukan di masa lampau. Yang jelas, namanya hidup tidak semua harus sempurna. Baik dan buruk merupakan bagian dari perjalanan hidup setiap insan. Begitupun dengan kakek-nenek dan leluhur kita. Apakah kisahnya baik dan buruk. Cukup kebaikanlah yang dijadikan motivasi bagi keturunannya. Pola hidup kita jangan sama dengan pola hidup leluhur kita masa silam. Yang mungkin orangnya biasa-biasa saja, dan hanya menjadi rakyat biasa. Sehingga kisah mereka tidak tertulis di prasasti dan tembang. Dan juga anak mereka tidak menulis kisahnya. Mungkin, zaman dahulu sejarah hanya ditulis bagi para pemangku kekuasaan, karena minimnya sumber pengetahuan, dan rakyat hanya sedikit yang bisa membaca dan menulis. Jadi wajar saja, jika prasasti dan manuskrip hanya ditulis dalam keadaan resmi. Itulah kenapa dari zaman kerajaan Hindu Kutai Karta Negara sampai kerajaan Islam Mataram, kita hanya banyak membaca kisah para raja, kaum bangsawan dan seputar kerajaan. Kita jarang membaca di buku-buku pelajaran kisah tentang kebaikan, kearifan dan kebijaksanaan para petani desa, pedagang, nelayan, dan kaum buruh. Di zaman yang mayoritas manusia bisa membaca dan menulis ini, mari budayakanlah juga untuk menulis sesuatu yang ada di seputar kita, mulai dari biografi orang tua, leluhur dan sejarah kampungnya masing-masing. Karena sekali lagi, jika bukan kita yang mencatat, maka siapa lagi? Kisah kebijaksanaan mereka, akan menjadi keteladanan bagi kita dan keliarga, sehingga apa yang sudah ditulis akan bisa diwariskan dalam bentuk manuskrip. Bisa saja, semua orang, untuk membuat perpustakaan dan museum pribadi, yang isinya hanya diisi kisah keluarga, seperti buku nasab, kisah teladan, artefak, dan sebagainya. Hitung-hitung menulis dan membukukan kisah mereka, merupakan bentuk rasa syukur seorang anak atau cucu kepada leluhurnya. Karena keturunan yang baik adalah yang selalu mengenang kebaikan leluhurnya, menziarahi makamnya dan mendoakannya. ika berkenan, tulis semua nasihat-nasihat orang tua. Tempel di dinding ruang tamu, agar setiap kali membaca akan mengerti betapa mulianya orang tua bagi keluarganya. Jangan menjadi orang yang serba cuek terhadap mutiara yang terpendam. Karena kisah yang mati obor, dimulai dari rasa cuek mengetahui siapa asal usulnya dan malas mencatat biografi leluhurnya. Tidak perlu menutupi dan malu dari siapa kita berasal, apalagi dengan alasan takut sombong dan angkuh. Karena, khawatir itu semua hanya penyakit hati dan tipu daya setan. Orang yang hebat itu tidak terdikte oleh keadaan sosial dan budaya yang buruk S

Kiai Sholeh Darat

Jejaknya samar-samar bagi generasi kekinian. Tapi, nama KH Sholeh Darat selalu dirujuk sebagai salah satu maha guru para ulama Nusantara. Begitu rendah hatinya, KH Sholeh Darat baru mau menulis kitab tafsir setelah dibujuk-bujuk Raden Ajeng Kartini. Satu riwayat menyebutkan, Kiai Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820. Nama panggilan semasa kecilnya adalah Sholeh. Sholeh dibesarkan di dalam keluarga agamais yang cinta tanah air. Ayahnya adalah Kiai Umar, yang merupakan ulama cukup terpandang dan disegani di kawasan pantai utara Jawa. Kiai Umar juga tercatat seorang pejuang Perang Jawa (1825-1830), sekaligug orang kepercayaan Pangeran Dipenogoro. Kiai Umar beserta santri-santrinya ikut berperang melawan Belanda. Kepada ayahandanyalah, pertama-tama, Kiai Sholeh Darat belajar ilmu agama. Saat usianya mulai remaja, Sholeh Darat dikirim untuk berguru kepada Kiai M Syahid alias KH.Murtadho, seorang pengasuh Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Daerah Karesidenan Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M Syahid merupakan cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749). Kepada Kiai M Syahid ini, Sholeh Darat belajar beberapa kitab fikih, di antaranya Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Minhajul Al-Qawim, Syarhul Khatib,Fathul Wahhab, dan lainnya. Setelah itu, Kiai Sholeh Darat berguru kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih Ibn Asnami Kudus. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Tafsir Al-Jalalain. Kiai Sholeh Darat juga sempat menjadi santri kalong di daerah Semarang. Tercatat, ia pernah belajar nahu-saraf kepada Kiai Ishak Damaran Semarang. Riwayat lain juga menyebutkan, ia belajar ilmu falak kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad Bin Hadi Buguni, seorang mufti di Semarang. Juga mengaji kitab Jauhar Al-Tauhid dan Minhajul Abidin kepada Kiai Ahmad Bafaqih Ba’ahvi Semarang dan belajar kitab Al-Masail Al-Sittin kepada Syekh Abd Al-Ghani Bima Semarang. Di luar Semarang, Kiai Sholeh Darat juga sempat berguru kepada Kiai Ahmad Alim Bulus, Gebang, Purworejo. Kepadanya ia mempelajari ilmu tasawuf dan Tafsir Al-Quran. Oleh Kiai Ahmad Alim, Kiai Sholeh Darat diperbantukan di Zain al-Alim untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiang, Desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo. Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Sholeh Darat diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Uniknya, keduanya singgah dulu beberapa bulan di Singapura. Sambil menanti izin resmi dan keberangkatan kapal, Kiai Umar dan Sholeh Darat juga sempat mengajar agama di sana. Seiring waktu, santrinya semakin banyak, terutama dari kalangan etnis Melayu dan Jawa. Tak lama, para santri ikut mengantarkan kepergian keduanya ke Tanah Suci. Selepas menunaikan ibadah haji, Kiai Umar wafat di Mekkah dan dimakamkan di sana. Kiai Sholeh pun menetap di Mekkah selama beberapa tahun untuk berguru kepada komunitas ulama jawi (Bilad al-Jawi), yakni komunitas para ulama dan santri yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah guna memperdalam ilmu agama. Selama berada di Mekkah, Kiai Sholeh Darat berguru kepada beberapa ulama yang masyhur kala itu. Mula-mula, Sholeh Darat belajar ilmu-ilmu akidah, khususnya kitab Umm al-Barabin (karya al-Sanusi) kepada Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki. Selanjutnya, ia berguru kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Sholeh belajar fikih dengan menggunakan kitab Fath Al-wahhab dan Syarh al-Khatib, serta nahu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibn Malik. Di saat yang sama, ia juga belajar kitab Ihya Ulumuddin (karya Imam Ghazali) kepada Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Shalih Al-Zawawi Al-Makki. Lalu belajar kitab al-Hikam (karya Ibn ‘Atha’illah) kepada Syekh Ahmad Al-Nahrawi al- Mishri al-Makki, belajar kitab Fath Al-Wahhab dari Kiai Zahid dan syekh Umar al-syami, belajar kitab Syarh al-Tahrir kepada Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Kiai Sholeh Darat juga belajar Tafsir al-Quran kepada Syekh Jamal, seorang mufti mazhab Hanafiyyah di Mekkah. Dari beberapa gurunya di Tanah Suci tersebut, Kiai Sholeh mendapatkan “ijazah”. Ijazah dalam tradisi pesantren adalah pencantuman nama dalam suatu mata rantai (sanad) pengetahuan yang dikeluarkan oleh seorang guru kepada murid yang telah menyelesaikan pelajaran atas kitab tertentu, sehingga si murid dianggap menguasai dan dapat mengajarakan kepada orang lain. Ijazah ini hanya diberikan kepada murid-murid senior dan khusus pada kitab-kitab besar dan masyhur, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al Khatib, dan Ihya Ulumuddin. Dari sini pulalah apa yang diperlajari Kiai Sholeh Darat dari kitab-kitab tersebut menjadi sumber inspirasi dan berpengaruh terhadap sebagian besar karya tulisannya, yang sebagian besar dicetak dalam tulisan pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa). Sebelum kembali ke Tanah Air, Kiai Sholeh Darat diberi kehormatan mengajar di Tanah Suci untuk beberapa waktu. Setelah itu, diketahui Kiai Sholeh Darat mengajar di Pesantren Salatiga yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loana, Purwerejo. Pesantren ini didirikan sejak abad ke-18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad Alim, Kiai Muhammad Alim, dan Kiai Zain al-Alim. Belakangan, Kiai Ahmad Alim mengasuh sebuah pesantren yang bernama al-Imam, di Desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun, Kiai Muhammad Alim mengembangkan pesantrennya juga berada di Desa Maron, yang kini dikenal dengan Pesantren al-Anwar. Jadi, saat itu kedudukan Kiai Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai Zaini al-Alim. Namun sampai detik ini penulis tidak mendapatkan informasi yang pasti mengenai sistem pengajaran yang ditularkan KH Sholeh Darat. Cuma dari beberapa bacaan, baik dari jurnal maupun manuskrip, diketahui bahwa KH Sholeh Darat selalu menerjemahkan kitab-kitab yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Madura dengan bentuk tulisan Arab Pegon, seperti Kitab Hikam dan lainnya. Dengan kitab-kitab hasil terjemahannya itulah KH Sholeh Darat mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya. Di antara para tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Sholeh Darat adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, Kiai R Dahlan Tremas (seorang ahli falak, w. 1329/1939), dan Kiai Amir Pekalongan. Bahkan, Raden Ajeng Kartini pernah menjadi santri Kiai Sholeh Darat. Berkat kegigihan Kartini-lah, Kiai Sholeh Darat bersedia menulis sendiri kitab tafsir Al-Quran. Kitab tersebut diberi judul Faidhur-Rohman, yang merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon. Ini menjadi taukid (penguat) bahwa metode penulisan dalam sistem pengajaran kepada santri sangat efektif dan harus dilestarikan. Oleh karena itu, jejak-jejak intelektual Islam justru muncul dalam bentuk naskah-naskah klasik keagamaan yang berisi berbagai pengajaran Islam, seperti tauhid, tafsir, akhlak, sastra arab, fikih, hingga tasawuf. (Muhammad Abdullah, hal 147).

SEJARAH MASJID ALUN-ALUN PATI

Kabupaten Pati kental dengan nuansa pendidikan Islam. Pondok-pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Pati. Hal ini menjadikan Kabupaten Pati menjadi rujukan ribuan santri dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, untuk menuntut ilmu agama. Semarak pendidikan Islam di Pati tak bisa dilepaskan dari para pendakwah yang mula-mula menyebarkan Islam di Bumi Mina Tani. Tokoh-tokoh yang diyakini sebagai waliyullah ini biasanya meninggalkan warisan berupa masjid yang dahulu mereka gunakan sebagai pusat syiar agama. Sebut saja Mbah Cungkrung yang mewariskan Masjid Baiturrohim Gambiran, yang merupakan Masjid pertama berdiri di Pati. Masjid Gambiran "Baiturrohim" Gambiran adalah nama dukuh yang berada di Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Menurut sejarahwan diyakini bahwa Gambiran dahulu merupakan pusat syiar Islam di Bumi Mina Tani. Sejarahwan berteori bahwa Masjid Baiturrohim Gambiran dahulu merupakan masjid utama di Pati, sebelum akhirnya berpindah ke Masjid Agung Baitunnur di Alun-Alun Pati. Menurut sejarah dakwah Islam di Pati yang berpusat di Gambiran tidak terlepas dari sosok Mbah Cungkrung. Mbah Cungkrung diyakini sebagai waliyullah yang makamnya berada sekitar 30 meter di sebelah selatan masjid. Haul Mbah Cungkrung diperingati warga setempat setiap 1 Syuro.
Mbah Cungkrung nama aslinya tidak diketahui dengan jelas. Namun kata cungkrung diambil dari kata berbahasa Jawa, yakni ‘jungkrung’ yang berarti ‘sujud’. Nama Mbah Cungkrung diambil dari kebiasaan beliau sujud dalam shalat. Mbah Cungkrung diyakini merupakan murid dari Sunan Muria. Hal ini antara lain terlihat dari pola dakwah Mbah Cungkrung yang bercorak tasawuf. Sunan Muria wafat pada pertengahan abad 16, Mbah Cungkrung juga berdakwah pada kisaran masa itu. Masjid Baiturrohim Gambiran dibangun oleh Mbah Cungkrung sebagai pusat syiar agama. Oleh warga setempat masjid ini juga disebut sebagai Masjid Wali. Masjid Gambiran memiliki arsitektur kuno dengan atap limas bersusun seperti Masjid Agung Demak. Struktur atap disangga oleh empat saka dari kayu. Memang bangunan asli masjid ini terbuat dari kayu, sebelum kemudian direnovasi menjadi tembok. Penanda renovasi adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Arab Pegon yang terletak di atas pintu utama masjid. Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa Masjid Gambiran direnovasi pada 1885 oleh Bupati Pati pada waktu itu, yakni Kanjeng Raden Aryo Candrahadinegoro. Dalam renovasi ini, mustoko atau kubah masjid berbentuk ngaron (tempat memasak dari tanah liat) diganti mustoko baru. Sedangkan yang lama dibawa ke daerah Tawung (Tawangrejo, Kecamatan Winong) oleh murid Mbah Cungkrung. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari KH Hishom, ulama dari Desa Tawangrejo, agama Islam yang berkembang di Winong dahulu berasal dari murid Mbah Cungkrung. Penanda “kekunoan” lainnya dari masjid ini, menurut Amal, ialah keberadaan kompleks makam keluarga penghulu, persis di sebelah utara masjid. Dilihat dari bentuk patok kuburannya, diperkirakan pemakaman tersebut telah ada sejak abad ke-16. Bukti lain bahwa dahulu Gambiran merupakan pusat Islam di Pati, ialah keberadaan pemakaman Islam kuno di Dukuh Gambiran RT 01 RW 05. Makam yang cukup padat, seluas hampir 2 hektare ini, menunjukkan bahwa Gambiran dulu kota dengan banyak penduduk, atau kalau sekarang disebut metropolitan. Ada keyakinan, penduduk berbondong-bondong meninggalkan, sehingga makam luas ini tidak digunakan lagi. Hanya penduduk lokal yang memanfaatkan sebagian kecil area makam. Selain itu dilihat dari patok-patok kuburan yang berukuran besar dan terbuat dari batuan andesit, pemakaman kuno ini diperkirakan dimanfaatkan warga pada abad 16 sampai 17. Diterangkan juga bahwa pusat Islam di Pati mulai berpindah sejak Masjid Agung Baitunnur berdiri pada 1845. Letaknya yang berada di barat pendopo menjadikan masjid ini sebagai masjid besar kabupaten. Pendirian masjid Agung Baitunnur membawa dampak besar. Para ulama Gambiran diboyong ke sana. Ada yang ditempatkan di Kauman, Saliyan, dan Kampung Mertokusuman. Ketika ulama-ulama Gambiran pindah ke Pati, masjid Baiturohim Gambiran mulai agak sepi. Namun, atas kebaikan Bupati pada waktu itu, 1885 masjid ini direnovasi. Meski kini Masjid Baiturrohim Gambiran bukan lagi masjid utama di Pati, jejak-jejak syiar Islam Mbah Cungkrung masih bisa ditemukan. Satu di antaranya warga Muslim Tawangrejo Kecamatan Winong mengakui Mbah Cungkrung sebagai leluhurnya. Setiap ada tahlil, nama Mbah Cungkrung disebut. Kemudian, saat peringatan haul Mbah Cungkrung di Gambiran, sejumlah penduduk dan perangkat Desa Tawangrejo ikut hadir. Meski semarak keagamaan sempat meredup saat ulama Gambiran hijrah ke Masjid Agung Baitunnur Pati, kini gairah keagamaan kembali bangkit. Di bawah naungan Yayasan Baiturrohim, di Gambiran berlangsung aktif pendidikan agama mulai dari TPQ,TK, Jamaah Yasin-Tahlil, sampai Pondok Pesantren.

SUNAN PUPUS (SYAYID ABDURROHMAN)

Sosok yang satu ini mungkin kurang begitu familiar di kalangan masyarakat umum. Padahal, dia adalah leluhur dari ulama-ulama besar di Kabupaten Jepara. Sosok tersebut adalah KH Muhammad Tasmin. Berdasarkan informasi yang Suaranahdliyin.com terima dari Kiai Izzul Ma’ali AH, bahwa Kiai Kholilurrohman, menyampaikan, KH Muhammad Tasmin adalah tokoh yang menurunkan ulama-ulama besar. “KH Muhammad Tasmin diyakini sebagai ulama besar yang merupakan simbah dari ulama-ulama berpengaruh dari Kota Ukir, yakni K Abdullah Umar (ayahanda KH Sholeh Darat yang juga pasukan Pangeran Diponegoro), KH Sholeh Darat, KH Khasbullah (pendiri Pondok Balekambang) dan KH Abdullah Hadziq (pengasuh Pondok Balekambang),” terang Kiai Kholilurrohman. Secara silsilah (nasab), KH Muhammad Tasmin diyakini tersambung hingga Sunan Drajat. Urutannya: Sunan Drajat – Simbah Arum Bonang – Simbah Kutub – Simbah Sunan Pupus (Abdurrahman, makamnya di Pati sekitar Alun-alun) – Simbah Muhammad Tasmin (Ngroto, Mayong, Jepara). “Simbah Muhammad Tasmin adalah sosok yang alim, tawadhu dan hidup sederhana di kampung terpencil di Dukuh Kedung Cumpleng, Desa Ngroto di pinggir sungai. “Tidak ada yang tahu secara pasti dulu kediaman Simbah Tasmin di sebelah mana, tetapi yang jelas ada peninggalan masjid yang masih berdiri hingga kini,” jelas Kiai Izzul Ma’ali. Kiai Izzul Ma’ali menambahkan, selain masid yang telah mengalami beberapa kali renovasi, peninggalan lain Mbah Tasmin adalah sebuah Madrasah Ibtidaiyyah (MI) di depan masjid, yang dulu menjadi salah satu pusat belajar warga. “Bahkan dulu warga dari desa-desa sekitar yang belajar di madrasah tersebut,” katanya. (ros/ adb, rid)

Mengenal Simbah Kiyai Ahmad Mutamakkin; Pangeran Jawa yang Menurunkan Banyak Kiyai

Siapa sangka nama Kiai Mutamakkin ternyata bukanlah nama aslinya. Nama Mutamakkin merupakan gelar yang diberikan setelah melakukan perjalanan intelektual mencari ilmu di berbagai wilayah di Timur Tengah. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Kiai Mutamakkin juga memiliki nama laqab Mbah Cebolek, yang diketahui dari tempat kediaman dan maqbarah-nya. Sementara itu beliau juga mendapatkan gelar Suma Hadiwijoyo sebagai gelar keningratan karena memiliki garis keturunan dari para raja Jawa. Nasab keraton mengalir rapi di sel darahnya, dari mulai Kerajaan Majapahit (Brawijaya ke-V) hingga Kesultanan Bintaro Demak. Raden Fatah mempunyai enam anak, yaitu Ratu Mas (istri Sunan Gunung Jati), Pati Unus (Pengarang Sabrang Lor), Pangeran Sedo Lepen, Sultan Trenggono (Ahmad Abdul Arifin), Pangeran Kandhuwuran, dan Pangeran Pamekasan. Dari jalur ayah, mengalir darah dari Sultan Trenggono bin Sultan Fatah, Raja Pertama Kesultanan Demak Islam, yang tidak lain adalah putra dari Raja Brawijaya V, yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit. Sultan Trenggono mempunyai empat orang anak, yaitu Putri Sekar Taji, Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin), Ratu Kalinyamat (istri Pangeran Hadirin, Jepara) dan putri istri Pangeran Timur di Madiun. Putri Sekar Taji ini dinikahi Jaka Tingkir (Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya). Dari pernikahan ini lahir anak bernama Suma Hadiningrat (Sunan Benawa I). Sunan Benawa I ini mempunyai putra bernama Sumahadinegara (Sunan Benawa II). Perkawinan antara Sunan Benawa II dengan Putri Raden Tanu melahirkan Suma Hadiwajaya alias Kiai Ahmad Mutamakkin. Dari jalur Jaka Tingkir, Kiai Mutamakkin merupakan keturunan raja-raja Majapahit. Ini bisa dilihat dari perkawinan Brawijaya V (raja Majapahit terakhir) dengan Murdaningrum saudara perempuan Candra Wulan (putri Campa) dari kerajaan Islam Campa. Dari perkawinan ini, lahir Raden Patah dan Ratu Pembayun. Ratu Pembayun mempunyai putra bernama Ki Ageng Pengging dalam babad dijelaskan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Ki Ageng Pengging ini adalah ayah Jaka Tingkir. Sedangkan dari jalur ibu, Kiai Mutamakin masih keturunan dari Sayyid Ali Akbar dari Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Sayyid Ali Akbar mempunyai seorang putra bernama Raden Tanu. Selanjutnya Raden Tanu memiliki keturunan seorang putri. Putri tersebutlah yang menjadi ibu dari Kiai Mutamakin.
Semasa hidupnya, Kiai Mutamakkin sepenuhnya hanya mengabdikan diri untuk menyebarkan agama Islam di daerah tempat beliau tinggal. Selama mendakwahkan ajaran Islam, Kiai Mutamakin selalu berpindah tempat. Kalau tempat tersebut dalam penyebaran Islam dianggap sudah berhasil, maka akan berpindah tempat ke daerah yang masih gersang atau belum terahmati oleh dinul Islam. Bersumber dari tokoh masyarakat setempat, Kiai Mutamakin saat mudanya pernah menjadi santri di Sayyid Asy’ari, sekarang dikenal dengan nama Sunan Bejagung Lor. Hingga sampai dipinang menjadi menantunya. Di antara petilasan Kiai Mutamakin yang ada di Tuban adalah Masjid Karomah Winong. Masjid tersebut berlokasi di Dukuh Winong, Sugiharjo, Kecamatan Tuban Kota. Bangunan masjid yang berjarak kurang-lebih 7 km dari pusat kota Tuban itu, dahulu merupakan salah satu tempat semacam padepokan milik Kiai Mutamakin saat menyebarkan ajaran Islam. Sebelum dipugar (1977) oleh masyarakat Sugiharjo menjadi masjid yang lumayan besar, dahulu tempat itu hanyalah tempat kecil yang digunakan oleh Kiai Mutamaqin untuk ber-riyadlah dan bermunajat kepada Sang Khalik Allah Swt. Di sekitar masjid, terdapat satu pohon sawo kecik yang sangat besar, diperkirakan berumur ratusan tahun. Pohon sawo kecik itu diyakini oleh masyarakat sekitar, sudah ada semenjak zaman Kiai Mutamakin. Tidak hanya itu, sebuah gentong yang terbuat dari tanah, dan benda persegi terbuat dari kayu seperti layaknya penampan juga termasuk peninggalan arkeologinya. Seperti halnya sumur tua yang berlokasi di Kuthi Desa Sumurgung Tuban, banyak yang meyakini dari masyarakat setempat bahwa sumur tersebut juga peninggalan dari Kiai Mutamakkin.
Kira-kira rentang kehidupan beliau berada di antara tahun 1685-1710. Singkat cerita, sepulangnya dari Timur Tengah -yang tidak diketahui pastinya- beliau menetap dan tinggal di Cebolek, Pati, hingga wafat dan disemayamkan di Kajen, Margoyoso, Pati. Nyai Alfiyah Godeg dan Kiai Endro Kusumo adalah putra-putri dai Mbah Cibolek yang menetap di Kajen. Dan dari mereka lahirlah keturunan kuyaha' (pluralnya kiai) yang membidani banyak pesantren di Pati. Di antaranya adalah Kiai Nawawi yang pada 1900 mendirikan pesantren tertua di Kajen. Saudaranya Kiai Nawawi, yaitu Kiai Abdussalam atau lebih dikena dengan sebutan Mbah Salam, pada tahun 1910 mendirikan pesantren yang dalam perkembangannya menjadi Pesantren Maslakul Huda. Kiai Nawawi memiliki seorang anak bernama Gus Thohir, yang mengenyam pendidikan Islam di pesantren Tebuireng, yang diasuh langsung oleh Kiai Hasyim Asyari. Sementara dari Kiai Abdussalam melahirkan keturunan Abdullah, yang kemudian dikenal dengan Mbah Dolah Salam, yang berkhidmat menjadi Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah. Kiai Bagus adalah putra dari Kiai Mutamakin yang berdakwah ke luar Pati. Tepatnya di Jawa Timur. Dari garis Kiai Bagus ini lahirlah keturunan bernama Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Syansuri. Dua-duanya tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama. Tidak ada informasi yang akurat mengenai tahun kelahiran dan kematian Syekh Mutamakkin. Milal membuat kesimpulan tentatif bahwa ia lahir pada 1645 M dan meninggal pada 1740 M. Kesimpulan ini didasarkan pada data sejarah bahwa Pangeran Benawa II pada 1617 M melarikan diri ke Giri, karena serangan Mataram, dan minta suaka politik. Pangeran Benawa II dalam era itu juga menjalin hubungan kekerabatan dengan Adipati Tuban. Dari pernikahan inilah yang kemudian lahir Mutamakkin. Apabila dikaitkan dengan Serat Cebolek yang mengisahkan tentang Syekh Ahmad Mutamakkin, maka ia hidup pada era Sunan Amangkurat IV (berkuasa pada 1719-1726 M) dan putranya, Paku Buwana II (berkuasa 1726-1749 M). Di luar dari konteks penanggalan ini, acara khaul Syekh Mutamakkin diadakan pada setiap 10 Muharram. Dalam acara ini diselenggarakan berbagai kegiatan, di antaranya khatmil-Qur’an di kompleks makam, penggantian klambu, dan berbagai kegiatan sosial keagamaan lain. Sebagaimana halnya tentang tahun kelahiran dan kematiannya, genealogi keilmuan dengan ulama di Timur Tengah juga tidak ada data sejarah yang memadai. Azyumardi Azra dalam kajiannya tentang Jaringan Ulama Nusantara dengan Timur Tengah pada Abad XVII dan XVIII M, tidak menyebut Syekh Mutamakkin. Dalam Serat Cebolek pupuh II, bait 10 dikisahkan tentang pengakuan Syekh Mutamakkin bahwa gurunya bernama Ki Seh Jen dari Yaman. Siapa sejatinya Syekh Zain ini, Serat Cebolek tidak menuturkan lebih rinci, demikian halnya sejarah lisan yang hidup di masyarakat Kajen. Menurut Ricklefs dalam The Seen and the Unseen Worlds in Java 1726-1749 Syekh Zain adalah Syekh Muhammad Zain al-Mizjaji al-Yamani. Bila asumsi ini benar, maka ia merupakan seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah. Ayahnya, Syekh Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Mizjaji al-Naqsabandi, adalah guru Syekh Yusuf Al-Maqassari dan ‘Abdur Rauf al-Sinkili, yang wafat pada 1074/1664 M47 dan merupakan ulama penting di keluarga Mizjaji pada abad 17 M. Kesimpulan ini juga bisa diteguhkan dari hadrah yang ada dalam Naskah Kajen yang di dalamnya disebutkan tokoh-tokoh dalam tarekat, yaitu Muhyiddin ‘Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Muhammad Asy-Syahi al-Samani, Syekh Abu Yazid Al-Bustami, Syekh Abu al-Qasim Junaid al-Bagdadi, dan Syekh Bahauddin an-Naqsabandi. Penulis: Komarudin (MATAN Jakarta)