Social Icons

Mengenal Simbah Kiyai Ahmad Mutamakkin; Pangeran Jawa yang Menurunkan Banyak Kiyai

Siapa sangka nama Kiai Mutamakkin ternyata bukanlah nama aslinya. Nama Mutamakkin merupakan gelar yang diberikan setelah melakukan perjalanan intelektual mencari ilmu di berbagai wilayah di Timur Tengah. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti orang yang meneguhkan hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Kiai Mutamakkin juga memiliki nama laqab Mbah Cebolek, yang diketahui dari tempat kediaman dan maqbarah-nya. Sementara itu beliau juga mendapatkan gelar Suma Hadiwijoyo sebagai gelar keningratan karena memiliki garis keturunan dari para raja Jawa. Nasab keraton mengalir rapi di sel darahnya, dari mulai Kerajaan Majapahit (Brawijaya ke-V) hingga Kesultanan Bintaro Demak. Raden Fatah mempunyai enam anak, yaitu Ratu Mas (istri Sunan Gunung Jati), Pati Unus (Pengarang Sabrang Lor), Pangeran Sedo Lepen, Sultan Trenggono (Ahmad Abdul Arifin), Pangeran Kandhuwuran, dan Pangeran Pamekasan. Dari jalur ayah, mengalir darah dari Sultan Trenggono bin Sultan Fatah, Raja Pertama Kesultanan Demak Islam, yang tidak lain adalah putra dari Raja Brawijaya V, yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit. Sultan Trenggono mempunyai empat orang anak, yaitu Putri Sekar Taji, Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin), Ratu Kalinyamat (istri Pangeran Hadirin, Jepara) dan putri istri Pangeran Timur di Madiun. Putri Sekar Taji ini dinikahi Jaka Tingkir (Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya). Dari pernikahan ini lahir anak bernama Suma Hadiningrat (Sunan Benawa I). Sunan Benawa I ini mempunyai putra bernama Sumahadinegara (Sunan Benawa II). Perkawinan antara Sunan Benawa II dengan Putri Raden Tanu melahirkan Suma Hadiwajaya alias Kiai Ahmad Mutamakkin. Dari jalur Jaka Tingkir, Kiai Mutamakkin merupakan keturunan raja-raja Majapahit. Ini bisa dilihat dari perkawinan Brawijaya V (raja Majapahit terakhir) dengan Murdaningrum saudara perempuan Candra Wulan (putri Campa) dari kerajaan Islam Campa. Dari perkawinan ini, lahir Raden Patah dan Ratu Pembayun. Ratu Pembayun mempunyai putra bernama Ki Ageng Pengging dalam babad dijelaskan sebagai murid Syekh Siti Jenar. Ki Ageng Pengging ini adalah ayah Jaka Tingkir. Sedangkan dari jalur ibu, Kiai Mutamakin masih keturunan dari Sayyid Ali Akbar dari Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Sayyid Ali Akbar mempunyai seorang putra bernama Raden Tanu. Selanjutnya Raden Tanu memiliki keturunan seorang putri. Putri tersebutlah yang menjadi ibu dari Kiai Mutamakin.
Semasa hidupnya, Kiai Mutamakkin sepenuhnya hanya mengabdikan diri untuk menyebarkan agama Islam di daerah tempat beliau tinggal. Selama mendakwahkan ajaran Islam, Kiai Mutamakin selalu berpindah tempat. Kalau tempat tersebut dalam penyebaran Islam dianggap sudah berhasil, maka akan berpindah tempat ke daerah yang masih gersang atau belum terahmati oleh dinul Islam. Bersumber dari tokoh masyarakat setempat, Kiai Mutamakin saat mudanya pernah menjadi santri di Sayyid Asy’ari, sekarang dikenal dengan nama Sunan Bejagung Lor. Hingga sampai dipinang menjadi menantunya. Di antara petilasan Kiai Mutamakin yang ada di Tuban adalah Masjid Karomah Winong. Masjid tersebut berlokasi di Dukuh Winong, Sugiharjo, Kecamatan Tuban Kota. Bangunan masjid yang berjarak kurang-lebih 7 km dari pusat kota Tuban itu, dahulu merupakan salah satu tempat semacam padepokan milik Kiai Mutamakin saat menyebarkan ajaran Islam. Sebelum dipugar (1977) oleh masyarakat Sugiharjo menjadi masjid yang lumayan besar, dahulu tempat itu hanyalah tempat kecil yang digunakan oleh Kiai Mutamaqin untuk ber-riyadlah dan bermunajat kepada Sang Khalik Allah Swt. Di sekitar masjid, terdapat satu pohon sawo kecik yang sangat besar, diperkirakan berumur ratusan tahun. Pohon sawo kecik itu diyakini oleh masyarakat sekitar, sudah ada semenjak zaman Kiai Mutamakin. Tidak hanya itu, sebuah gentong yang terbuat dari tanah, dan benda persegi terbuat dari kayu seperti layaknya penampan juga termasuk peninggalan arkeologinya. Seperti halnya sumur tua yang berlokasi di Kuthi Desa Sumurgung Tuban, banyak yang meyakini dari masyarakat setempat bahwa sumur tersebut juga peninggalan dari Kiai Mutamakkin.
Kira-kira rentang kehidupan beliau berada di antara tahun 1685-1710. Singkat cerita, sepulangnya dari Timur Tengah -yang tidak diketahui pastinya- beliau menetap dan tinggal di Cebolek, Pati, hingga wafat dan disemayamkan di Kajen, Margoyoso, Pati. Nyai Alfiyah Godeg dan Kiai Endro Kusumo adalah putra-putri dai Mbah Cibolek yang menetap di Kajen. Dan dari mereka lahirlah keturunan kuyaha' (pluralnya kiai) yang membidani banyak pesantren di Pati. Di antaranya adalah Kiai Nawawi yang pada 1900 mendirikan pesantren tertua di Kajen. Saudaranya Kiai Nawawi, yaitu Kiai Abdussalam atau lebih dikena dengan sebutan Mbah Salam, pada tahun 1910 mendirikan pesantren yang dalam perkembangannya menjadi Pesantren Maslakul Huda. Kiai Nawawi memiliki seorang anak bernama Gus Thohir, yang mengenyam pendidikan Islam di pesantren Tebuireng, yang diasuh langsung oleh Kiai Hasyim Asyari. Sementara dari Kiai Abdussalam melahirkan keturunan Abdullah, yang kemudian dikenal dengan Mbah Dolah Salam, yang berkhidmat menjadi Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah. Kiai Bagus adalah putra dari Kiai Mutamakin yang berdakwah ke luar Pati. Tepatnya di Jawa Timur. Dari garis Kiai Bagus ini lahirlah keturunan bernama Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Syansuri. Dua-duanya tidak lain adalah pendiri Nahdlatul Ulama. Tidak ada informasi yang akurat mengenai tahun kelahiran dan kematian Syekh Mutamakkin. Milal membuat kesimpulan tentatif bahwa ia lahir pada 1645 M dan meninggal pada 1740 M. Kesimpulan ini didasarkan pada data sejarah bahwa Pangeran Benawa II pada 1617 M melarikan diri ke Giri, karena serangan Mataram, dan minta suaka politik. Pangeran Benawa II dalam era itu juga menjalin hubungan kekerabatan dengan Adipati Tuban. Dari pernikahan inilah yang kemudian lahir Mutamakkin. Apabila dikaitkan dengan Serat Cebolek yang mengisahkan tentang Syekh Ahmad Mutamakkin, maka ia hidup pada era Sunan Amangkurat IV (berkuasa pada 1719-1726 M) dan putranya, Paku Buwana II (berkuasa 1726-1749 M). Di luar dari konteks penanggalan ini, acara khaul Syekh Mutamakkin diadakan pada setiap 10 Muharram. Dalam acara ini diselenggarakan berbagai kegiatan, di antaranya khatmil-Qur’an di kompleks makam, penggantian klambu, dan berbagai kegiatan sosial keagamaan lain. Sebagaimana halnya tentang tahun kelahiran dan kematiannya, genealogi keilmuan dengan ulama di Timur Tengah juga tidak ada data sejarah yang memadai. Azyumardi Azra dalam kajiannya tentang Jaringan Ulama Nusantara dengan Timur Tengah pada Abad XVII dan XVIII M, tidak menyebut Syekh Mutamakkin. Dalam Serat Cebolek pupuh II, bait 10 dikisahkan tentang pengakuan Syekh Mutamakkin bahwa gurunya bernama Ki Seh Jen dari Yaman. Siapa sejatinya Syekh Zain ini, Serat Cebolek tidak menuturkan lebih rinci, demikian halnya sejarah lisan yang hidup di masyarakat Kajen. Menurut Ricklefs dalam The Seen and the Unseen Worlds in Java 1726-1749 Syekh Zain adalah Syekh Muhammad Zain al-Mizjaji al-Yamani. Bila asumsi ini benar, maka ia merupakan seorang tokoh tarekat Naqsabandiyah. Ayahnya, Syekh Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Mizjaji al-Naqsabandi, adalah guru Syekh Yusuf Al-Maqassari dan ‘Abdur Rauf al-Sinkili, yang wafat pada 1074/1664 M47 dan merupakan ulama penting di keluarga Mizjaji pada abad 17 M. Kesimpulan ini juga bisa diteguhkan dari hadrah yang ada dalam Naskah Kajen yang di dalamnya disebutkan tokoh-tokoh dalam tarekat, yaitu Muhyiddin ‘Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Muhammad Asy-Syahi al-Samani, Syekh Abu Yazid Al-Bustami, Syekh Abu al-Qasim Junaid al-Bagdadi, dan Syekh Bahauddin an-Naqsabandi. Penulis: Komarudin (MATAN Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar