Hari Santri Nasional menjadi hari yang membanggakan bagi para santri di Indonesia. Sejarah Hari Santri ini tidak terlepas karena adanya peran Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy’ari. Oleh karena itu, pada artikel ini akan dibahas mengenai sejarah Hari Santri Nasional secara lengkap.
Latar Belakang Penetapan Hari Santri Nasional
Hari Santri Nasional (HSN) diperingati setiap tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan Hari Santri Nasional ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan ini dimaksudkan untuk meneladankan semangat jihad kepada para santri tentang keIndonesiaan yang digelorakan para ulama.
Dua puluh dua Oktober dipilih karena bertepatan dengan satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Pada tanggal tersebut, KH Hasjim Asy’ari menyerukan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan.
Sekutu yang dimaksudkan adalah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Sementara itu, di belakang tentara Inggris terdapat pasukan Belanda yang ikut membonceng. Selain itu, aspek lain yang melatarbelakangi penetapan Hari Santri Nasional adalah adanya pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi Santri dan Pesantren
Santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; dan orang yang saleh. Sementara itu, pengertian santri menurut para ahli adalah:
- Menurut Johns, santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji
- Menurut CC. Berg, santri berasal dari bahasa India yakni shastri. Shastri berarti seorang ali kitab agama Hindu. Hal ini didukung oleh A. Steenbrink, ia beranggapan bahwa pendidikan di pesantren mirip dengan pendidikan Hindu di India.
- Santri bagi sebagian orang di Indonesia berasal dari Bahasa Sansekerta, yakni Sastri yang berarti melek huruf.
- Ada juga yang menyatakan bahwa santri berasal dari Bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna seseorang yang selalu setia mengikuti gurunya dan ikut serta kemanapun gurunya pergi.
Makna santri sendiri identik dengan istilah pondok pesantren. Para santri di dalam pondok pesantren akan mengikuti jadwal belajar dan ibadah yang telah disusun sedemikian rupa. Hal ini menjadi kegiatan wajib untuk dilaksanakan para santri. Santri biasanya mengikuti pendidikan agama Islam pada sebuah pondok pesantren selama kurun waktu tertentu. Ilmu yang diajarkan tidak hanya berkaitan dengan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu umum lainnya. Para Santri pun dituntut untuk dapat berkomunikasi dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris.
Tujuan Peringatan Hari Santri Nasional
Hari Santri Nasional bertujuan untuk memperingati peran besar kaum kiyai dan kaum santri dalam perjuangannya melawan penjajah yang bertepatan dengan seruan KH Hasjim Asy’ari tersebut. Peran ulama-ulama lainnya seperti KH Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad, dan Abdul Rahman dari Matlaul Anwar.
Sejarah Hari Santri Nasional
Sejarah Hari Santri Nasional sangat berkaitan erat dengan perisitiwa bersejarah bangsa Indonesia. Peristiwa bersejarah tersebut membawa bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan dari para penjajah berkat perjuangan para santri dan campur tangan Tuhan Yang Maha Esa. Tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945, KH Hasjim Asy’ari menyerukan resolusi jihad yang dicetuskan oleh pendiri Nahdlatul Ulama. Seruan tersebut dilakukan untuk mencegah dan menghalangi kembalinya tentara Kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA.
Saat itu, KH Hasjim Asy’ari menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang.” Seruan ini membakar semangat para santri Surabaya untuk menyerang Markas Bridge 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Pada pertempuran tersebut, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Jenderal tersebut tewas bersama pasukannya sebanyak +/- 2.000 pasukan. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang akhirnya berujung pada Peristiwa 10 November 1945.
Sosok KH Hasjim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 14 Februari 1871. Beliau meninggal di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun tepatnya tanggal 21 Juli 1947. KH Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang mendirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama bermakna kebangkitan ulama dan didirikan pada tahun 1926. Organisasi tersebut kemudian menjadi organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Sosok KH Hasyim Asy’ari mendapatkan julukan Hadratus Syeikh di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren, yang berarti maha guru.
Sosok KH Hasjim Asy’ari terlahir di lingkungan pesantren. Beliau pun mempelajari dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang merupakan pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren sejak usia 15 tahun. Pesantren tempat KH Hasjim Asy’ari menimba ilmu diantarnaya adalah Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantrem Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Kademangan di Bangkalan, dan Pesantrem Siwalan di Sidoarjo.
Sedangkah di Mekah, awalnya beliau belajar di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Termas (Pacitan). Syaik Mahfudz adalah ahli hadas, sehingga saat kembali ke Indonesia maka KH Hasjim Asy’ati sangat terkenal dengan pengajaran ilmu hadits. Selain itu, belau juga mempelajari tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1899, KH Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng. Pesantren ini pun kemudian menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pandangan KH Hasjim Asy’ari mengenai Ahl al-sunna wa al-jama’ah yakni tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Setidaknya terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahl al-sunna wa al-jama’ah, yakni teologi dan fiqh. Melalui karya-karyanya dapat disimpulkan bahwa Ahl al-sunnah wa al-jama’ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola kebragaman bermadzhab kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.
Resolusi Jihad
Para ulama selalu mengawal kemerdekaan Indonesia. Bahkan setelah kemerdekaan, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September 1945.
Resolusi Jihad diputuskan dalam rapat para konsul NU Se-Jawa Madura. Isi dari Resolusi Jihad tersebut diantaranya: (1) kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan, (2) umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (3) kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi setiap orang Islam dalam jarak radius 94 Km (jarak dimana umat Islam dapat melakukan shalat jama’ & qasar). Sementara itu, bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 Km tersebut. Terdapat tambahan dalam teks lainnya, yakni “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi) riwayat Muslim.”
Dampak Resolusi Jihad
Resolusi Jihad ini berdampak sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri berperang melawan Tentara Sekutu. Sebanyak lima belas ribu Tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Brigadier Jenderal A.W.S. Mallaby pun tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut, yakni pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Hal ini membuat marah angkatan perang Inggris, sehingga ujungnya terjadi Peristiwa Pertempuran 10 November 1945. Peristiwa tersebut kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.
Meskipun penetapan Hari Santri Nasional dilatarbelakangi oleh resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, tetapi peringatan ini tidak dimaksudkan untuk kelompok atau golongan tertentu. Peringatan Hari Santri Nasional di Indonesia harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan nasionalisme di kalangan umat Islam yang sudah ada sejak zaman penjajahan dulu.
Peran umat Islam sendiri pada masa penjajahan dapat terlihat dari banyaknya pahlawan yang melandaskan perjuangannya atas dasar agama Islam. Banyak para kiyai atau para pemuka agama Islam dan raja-raja Islam yang turun dan memimpin peperangan melawan para penjajah.
Inilah penjelasan mengenai Sejarah Hari Santri Nasional di Indonesia. Semoga peringatan hari santri dapat dimaknai dengan baik oleh umat Islam maupun umat non Islam di Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat.