Dalam bukunya Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin (Suluk Kiai Cebolek, 2014) disebutkan bahwa ada enam spirit atau suluk Kiai Cebolek sebelum menggapai martabat insan kamil. Keenam suluk ini disimpulkan dari keterangan-keterangan yang ada pada ornamen-ornamen masjid Kiai Cebolek, penuturan para dzurriyahnya dan masyarakat sekitar.
Pertama, suluk niat Kiai Cebolek. Suluk niat menjadi dasar dari segala perbuatan ibadah seorang hamba seperti yang telah disabdakan nabi. Kalau niatnya sudah tidak benar, maka amalnya juga tidak akan benar. Menurut cerita masyarakat sekitar Kajen, kesalahan niat pernah dialami oleh Ketib Anom saat ia berkunjung menemui Kiai Cebolek dan berniat untuk menguji dan menjatuhkannya. Kiai Cebolek mampu menjawab apa yang ditanyakan oleh Ketib Anom. Kemudian Kiai Cebolek meminta Ketib Anom untuk menafsirkan ornamen-ornamen pada dinding masjid Kiai Cebolek, Ketib Anom tidak bisa dan malah kebingungan.
Kedua, suluk ketauhidan. Suluk ini merupakan cerminan kayakinan Kiai Cebolek kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Gelar “Al-Mutammakin” (orang yang berpegang teguh dan berprinsip) yang disandangnya merupakan bukti bahwa Kiai Cebolek mengamalkan nilai-nilai ketauhidan secara total dan kuat. Ketauhidan yang diamalkan Kiai Cebolek bukan hanya di mulut, tapi juga pada tindakan-tindakannya.
Ketiga, suluk transformasi (perubahan diri). Suluk transformasi merupakan suluk yang mengupayakan perubahan diri dari hal yang tidak baik ke hal yang baik. Selain memperbaiki diri sendiri, Kiai Cebolek juga turut memperbaiki masyarakatnya. Kiai Cebolek berusaha sekuat tenaga untuk mendampingi rakyat dan melawan tirani dengan menggunakan ranah tasawuf sebagai media perjuangannya.
Keempat, suluk pembebasan. Setiap individu memiliki kewajiban untuk melepaskan setiap individu dan masyarakat dari penindasan. Suluk pembebasan mengharmonisasikan peran antarindividu, tidak ada yang menguasai dan tak ada yang dikuasai. Berbeda dengan Kiai Cebolek yang menggunakan tasawuf sebagai media untuk membebaskan rakyat dari ketiranian, Gus Dur, salah satu dzurriyahnya dan presiden keempat NKRI, menggunakan demokrasi untuk membebaskan dan melindungi rakyat lemah.
Kelima, suluk kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan kekayaan dan identitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Kiai Cebolek, sebagaimana yang dilakukan oleh para Wali Sanga, berusaha melindungi dan melestarikan kearifan-kearifan lokal masyarakat dengan cara menyisipkan nilai-nilai islami ke dalamnya.
Keenam, tazkiyatun nafsi (membersihkan diri) dari hal-hal yang syubhat, apalagi haram. Kisah yang melegenda masyarakat sekitar tentang tazkiyatun nafsi Kiai Cebolek adalah saat Kiai Cebolek melakukan riyadhah (olah jiwa) selama empat puluh hari. Pada saat akan berbuka puasa, Kiai Cebolek menyiapkan makanan-makanan yang lezat. Ia meminta istrinya untuk mengikatnya dan meletakkan makanan tersebut di hadapannya. Maka keluarlah nafsu Kiai Cebolek dalam bentuk dua ekor anjing, anjing ini menyantap habis makanan tersebut dan setelah selesai ke dua ekor anjing tersebut akan masuk lagi ke tubuh Kiai Cebolek tetapi Kiai Cebolek tidak memperkenankannya. Kedua anjing ini diberi nama Kamaruddin dan Abdul Kahar. Bisa saja cerita ini hanya kiasan semata, tetapi yang pasti Kiai Ceboleh melakukan tazkiyatun nafsi tingkat tinggi.
Enam suluk ini merupakan tangga untuk menggapai status insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana yang Kiai Cebolek ajarkan. Yang perlu kita tahu bahwa Kiai Cebolek tidak melulu beribadah di masjid, tetapi ia juga berjuang bersama rakyat dari segala penindasan dan kesengsaraan yang ada.
Suluk, ajaran, atau semangat Kiai Cebolek tak pernah surut dan akan terus tumbuh subur di kalangan dzurriyah-dzurriyah (anak-cucunya), santri-santri dan masyarakat sekitarnya.
Pertama, suluk niat Kiai Cebolek. Suluk niat menjadi dasar dari segala perbuatan ibadah seorang hamba seperti yang telah disabdakan nabi. Kalau niatnya sudah tidak benar, maka amalnya juga tidak akan benar. Menurut cerita masyarakat sekitar Kajen, kesalahan niat pernah dialami oleh Ketib Anom saat ia berkunjung menemui Kiai Cebolek dan berniat untuk menguji dan menjatuhkannya. Kiai Cebolek mampu menjawab apa yang ditanyakan oleh Ketib Anom. Kemudian Kiai Cebolek meminta Ketib Anom untuk menafsirkan ornamen-ornamen pada dinding masjid Kiai Cebolek, Ketib Anom tidak bisa dan malah kebingungan.
Kedua, suluk ketauhidan. Suluk ini merupakan cerminan kayakinan Kiai Cebolek kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Gelar “Al-Mutammakin” (orang yang berpegang teguh dan berprinsip) yang disandangnya merupakan bukti bahwa Kiai Cebolek mengamalkan nilai-nilai ketauhidan secara total dan kuat. Ketauhidan yang diamalkan Kiai Cebolek bukan hanya di mulut, tapi juga pada tindakan-tindakannya.
Ketiga, suluk transformasi (perubahan diri). Suluk transformasi merupakan suluk yang mengupayakan perubahan diri dari hal yang tidak baik ke hal yang baik. Selain memperbaiki diri sendiri, Kiai Cebolek juga turut memperbaiki masyarakatnya. Kiai Cebolek berusaha sekuat tenaga untuk mendampingi rakyat dan melawan tirani dengan menggunakan ranah tasawuf sebagai media perjuangannya.
Keempat, suluk pembebasan. Setiap individu memiliki kewajiban untuk melepaskan setiap individu dan masyarakat dari penindasan. Suluk pembebasan mengharmonisasikan peran antarindividu, tidak ada yang menguasai dan tak ada yang dikuasai. Berbeda dengan Kiai Cebolek yang menggunakan tasawuf sebagai media untuk membebaskan rakyat dari ketiranian, Gus Dur, salah satu dzurriyahnya dan presiden keempat NKRI, menggunakan demokrasi untuk membebaskan dan melindungi rakyat lemah.
Kelima, suluk kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan kekayaan dan identitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Kiai Cebolek, sebagaimana yang dilakukan oleh para Wali Sanga, berusaha melindungi dan melestarikan kearifan-kearifan lokal masyarakat dengan cara menyisipkan nilai-nilai islami ke dalamnya.
Keenam, tazkiyatun nafsi (membersihkan diri) dari hal-hal yang syubhat, apalagi haram. Kisah yang melegenda masyarakat sekitar tentang tazkiyatun nafsi Kiai Cebolek adalah saat Kiai Cebolek melakukan riyadhah (olah jiwa) selama empat puluh hari. Pada saat akan berbuka puasa, Kiai Cebolek menyiapkan makanan-makanan yang lezat. Ia meminta istrinya untuk mengikatnya dan meletakkan makanan tersebut di hadapannya. Maka keluarlah nafsu Kiai Cebolek dalam bentuk dua ekor anjing, anjing ini menyantap habis makanan tersebut dan setelah selesai ke dua ekor anjing tersebut akan masuk lagi ke tubuh Kiai Cebolek tetapi Kiai Cebolek tidak memperkenankannya. Kedua anjing ini diberi nama Kamaruddin dan Abdul Kahar. Bisa saja cerita ini hanya kiasan semata, tetapi yang pasti Kiai Ceboleh melakukan tazkiyatun nafsi tingkat tinggi.
Enam suluk ini merupakan tangga untuk menggapai status insan kamil (manusia sempurna) sebagaimana yang Kiai Cebolek ajarkan. Yang perlu kita tahu bahwa Kiai Cebolek tidak melulu beribadah di masjid, tetapi ia juga berjuang bersama rakyat dari segala penindasan dan kesengsaraan yang ada.
Suluk, ajaran, atau semangat Kiai Cebolek tak pernah surut dan akan terus tumbuh subur di kalangan dzurriyah-dzurriyah (anak-cucunya), santri-santri dan masyarakat sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar